as far as the eye could see would look fine or regular shape and we can enjoy, areal form close to us and stick with our days,which form an impression,message,pleasure,sorrow,struggle, optimism,arrogance,isme2,absurdivitas and love that melt into a visual language through the senses of the eys and hearts toward the eye that can see the honesty of a simple but not transparent.

seni pembebasan

SENI PEMBEBASAN : Ketika Seni Berpihak pada RakyatOleh Saepullah Ramadhan dan Ary Armenz
Bagaimana posisi seni dan para kreatornya, yakni pekerja seni di dalam perkembangan masyarakat?
Sesungguhnya hakekat seni - dalam hal ini bagaimana seni itu berposisi di dalam masyarakat - adalah perdebatan yang tak kunjung selesai. Ada beberapa pendapat yang berkembang:
1. Bahwa seni adalah produk sosial dari suatu sejarah masyarakatnya, karena itu akan selalu ada seniman yang mendukung aktif terhadap tatanan suatu peradaban masyarakatnya dan karenanya akan selalu kontra dengan pekerja seni yang beroposisi terhadap tatanan masyarakat yang berkembang, sehingga timbul pertentangan antara seniman borjuis sebagai pendukung peradaban kapitalisme dengan pekerja seni yang mengusung semangat kerakyatan dan percaya bahwa berakhirnya penindasan mayoritas manusia, harus di lakukan dengan jalan revolusi dan bahwa kebudayaan dan seni sekarang ini ditujukan untuk mendukung kemapanan budaya borjuasi & karenanya harus dilawan.
2. Seni yang dijadikan benda suci yang bebas steril dari kepentingan politik apapun dengan ideologinya ialah estetika dan artistik semata dan paham ini sangat mengagungkan segala macam teknik, gaya & bentuk dan mereka percaya seni adalah sesuatu yang bebas nilai guna mencapai kesempurnaan seni dan para seniman penciptanya takkan perduli pada kondisi sosial masyarakatnya yang penuh penindasan (dan sikap ini sedikit berbeda dengan sikap seniman borjuis yang "masih" memiliki komitmen sosial walau hanya sebatas 'moral', tetapi keduanya memiliki persamaan: bahwa mereka percaya pada tatanan masyarakat yang sekarang ada dan karenanya takut dengan sikap revolusioner pekerja seni yang memiliki semangat kerakyatan dan karenanya mereka akan memusuhinya habis-habisan).
Sikap seniman yang mengagungkan bentuk estetika semata inilah yang mendasari semangat "seni untuk seni" yang sesungguhnya akan menjauhkan seni dengan masyarakat. Jenis seni inipun akan terserap oleh pasar sebagai produk komoditas yang ekslusif dan mewah.
3. Suatu perkembangan seni dan budaya populer yang diproduksi secara massal oleh kekuatan pemodal demi kepentingan laba, dan juga media ini akan mudah dijadikan media hegemoni (yakni kesadaran palsu yang di propagandakan kelas berkuasa terhadap masyarakat lewat media seni populer), kelas borjuasi selain mendapat keuntungan secara kapital juga akan dapat menjejalkan ideologi mereka: Ideologi Borjuasi.
Dalam seni (film, musik, novel, sastra, dll) bisa di susupkan kesadaran-kesadaran palsu tentang keunggulan, kepercayaan dan kerealistisan sistem masyarakat, cara pandang dan pola pikir mereka. Sebaliknya dengan kekuatan media seninya mereka akan memblejeti dan menjatuhkan eksistensi ideologi lawan mereka, misal: Hollywood sering memproduksi film macam Rocky, Rambo atau James Bond hanya untuk mengunggulkan ideologi borjuasi mereka yang pada akhirnya secara tak langsung pada masyarakat akan tertancap kesadaran betapa tak realistisnya ideologi musuh mereka: dalam film itu di gambarkan bagaimana gagahnya jagoan hollywood itu mengacak-acak negeri yang menjadi musuh mereka dan digambarkan betapa sengsaranya kehidupan masyarakat pada negeri tersebut. Inilah contoh ekstrem & vulgar dari upaya hegemoni kelas borjuis.
Selain itu kekuatan media seni populer dapat mengalihkan persoalan masyarakat sebenarnya karena hiburan yang di produksi pemodal ini akan membuat orang lupa pada persoalan mereka sebenarnya sehingga mereka lebih senang bersifat apatis, hedonis, dan konsumtif. Jadilah kaum borjuis memproduksi industri musik, olah raga, film, mode/fashion, kafe, diskotik, dan semacamnya yang dikatakan sebagai pencitraan gaya hidup.
Berangkat dari pemahaman tersebut diaatas, ada fakta-fakta yang menjelaskan tentang potensi kekuatan seni yang luar biasa sebagai sarana penyebaran kesadaran oleh kelas berkuasa terhadap massa rakyat: tetapi karena itu pula harus dilakukan perlawanan terhadap ideologi yang dikembangkan kelas penguasa, karena itu maka roh dan semangat seni harus dikembalikan pada rakyat, bukan dikuasai oleh kekuatan pemodal.
Lalu disinilah dibutuhkan pembongkaran terhadap fungsi dan posisi seni yang telah direduksi oleh kelas borjuis dan karenanya dibutuhkan suatu semangat pembebasan yang berbasis pada massa rakyat. Seni bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi seni pun dapat berperan untuk mendorong perubahan dalam masyarakat, maka disinilah perlunya suatu seni pembebasan.
Seni dan MasyarakatSebelum beranjak lebih jauh terhadap hakekat seni yang sesungguhnya, tentu akan lebih baik kita mengkaji tentang gambaran masyarakat yang ada (tentu saja secara sekilas karena keterbatasan tempat).
Seperti kita ketahui, kekuatan kelas borjuis selalu berhasil mempertahankan kekuasaannya melalui kekerasan terlembaga (alat-alat hukum, penjara dan militer) & selain itu - seperti yang disebutkan di atas - mereka melakukan upaya hegemoni untuk memenangkan ideologi borjuis mereka. Dalam hal ini seni hanya dijadikan sarana untuk melapangkan penindasan.
Perkembangan seni selalu dipengaruhi oleh corak produksi yang berkembang pada masyarakat saat itu:
1. Pada masa komunal primitif manusia mengaktuallisasikan seni untuk menggambarkan kegiatan kolektif masyarakat dalam memenuhi corak produkasinya, misal: tari-tarian atau lukisan-lukisan di gua yang menggambarkan kegiatan berburu secara bersama.
2. Pada masa feodal seni dipakai untuk menyanjung dewa-dewa dan keluarga raja; artinya seni ditujukan pada kepentingan istana dan pendeta untuk mendukung corak produksi yang feodal.
3. Pada masa kapitalisme seni di jadikan alat untuk mengakumulasikan modal dan alat untuk melapangkan kekuasaan kelas penguasa, lewat hegemoni (kesadaran palsu ) yang di pasokan kelas borjuasi.
Seni dalam masa kapitalisme, telah benar-benar di paksa untuk tunduk pada mekanisme pasar. Banyak karya-karya yang berkembang demi alasan komersial, berisikan syair-syair cinta dan pemujaan terhadap kaum perempuan dan hal ini bisa menjebak pada perspektif sexis. Tapi lagu-lagu populer inilah yang laku di pasaran dan seolah hal itu bisa di terima oleh kaum perempuan itu sendiri. Sebagai contoh kita bisa lihat sebuah lagu kelompok Dewa yang berjudul Dua Sejoli dimana syairnya berisi tentang keberadaan kaum perempuan di bawah dominasi kaum laki-laki.
Memang pada prinsipnya seni dibawah kapitalisme berlaku sangat dangkal dan diskriminatif. Betapa jahatnya sistem ini sehingga dalam kenyataannya membunuh kreativitas para pekerja seni. Banyak pula pekerja seni yang terlena dalam sistem ini yakni sistem yang hanya berorientasi selera pasar sehingga mengabaikan nilai-nilai kesejatian dari seni itu senidiri. Tak salah bila kemudian seni yang lahir serba seragam dan anti demokrasi karena secara nyata para pekerja seni tidak diberikan kebebasan untuk berkarya.
Seni Pembebasan Sebagai Sarana Penyadaran Rakyat.Dari pemahaman ini timbullah suatu gerakan anti kemapanan terhadap budaya borjuis. Hal ini adalah konsekwensi logis yang terjadi dalam masyarakat. Di mana ada penindasan di situ ada perlawanan, karena dengan akal dan nuraninya, manusia mulai mencari sumber segala permasalahan pada masyarakatnya: maka didapatlah pemahaman bahwa sumber segala penindasan adalah pertentangan kelas yang tak terdamaikan antara kelas borjuis dengan kelas buruh. Kelas borjuis memerlukan penindasan yang terus menerus demi alasan pelanggengan akumulasi modal.
Dalam kesadaran demikian, bahwa dengan posisi dan potensinya, pekerja seni tidak saja menafsirkan dan menggambarkan dunia, tetapi lewat karya-karyanya dapat mendorong suatu "penyadaran" pada massa rakyat sehingga dapat membentuk kesadaran sejati. Juga ketika disadari ruang bergerak para seniman telah disekap, maka diperlukan pendobrakan terhadap kemapanan budaya yang ada. Mundurnya suatu budaya akan menimbulkan pemberontakan budaya pula seperti yang dikatakan Albert Camus "karena seni sesungguhnya adalah pemberontakan". Dan pemberontakan ini memerlukan suatu wacana (paham) dengan apa yang dinamakan sebagai seni pembebasan yakni seni yang membebaskan diri dari sekat-sekat besi yang diciptakan kaum borjuasi dimana seni dijauhkan dari semangat kerakyatan.
Mungkin terasa asing terdengar di telinga kita tentang mahluk yang bernama seni pembebasan atau sering pula orang menamakannya seni perlawanan karena di sini seni hadir sebagai perlawanan terhadap dominasi sistem (kapitalisme) yang ada. Dengan kata lain perlawanan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memeperoleh hak-haknya yang terampas oleh struktur (kapitalisme) yang berkuasa. Jelas bahwa bentuk seni perlawanan/pembebasan menempatkan keberpihakannya pada kelas rakyat tertindas. Menurut Goerge Lucacs [1] seni pembebasan sesungguhnya merupakan teori seni yang berdasarkan pada kontemplasi dialektika antara seniman dengan lingkungan tempatnya berada, hakekatnya seni sebagai wahana "penyadaran" masyarakat untuk keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teraliennasi dalam istilah Marx) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan [2]. Sebagai dasar dari perkembangan seni pembebasan ini lahirlah suatu genre baru dalam berkesenian dan dikenal dengan istilah Realisme Sosialis.
Secara singkat arti realisme sosialis ialah aliran seni yang mendasarkan diri pada kenyatan realitas masyarakat & sejarahnya dan dalam watak historisnya berperan untuk membuka penyadaran pada massa rakyat.
Diperkirakan tradisi relaisme sosialis lahir di Rusia meskipun pada awal kelahirannya sama sekali tidak dipersiapkan sebagai aliran dominan bagi kaum Kiri. Relisme sosialis bisa dikatakan lahir dari dialektika seni realisme klasik. Menurut Lucacs dalam studinya, sastra klasik Eropa abad ke 17 masih diliputi oleh kehidupan sehari-hari dan kadang bersifat mitologis dengan pandangan idealis dan abstrak, sesuai dengan watak historisnya saat itu (feodalisme). Seiring dengan tumbuhnya masa renaisanse (pencerahan) lahirlah seni realis yang lebih bisa mendasarkan diri pada kenyataan sosial masyarakatnya, lalu berkembangkah aliran realisme sosialis yang bukan saja kritis mengambarkan kondisi sosial saat itu, tapi juga memiliki kesadaran bahwa tugas manusia bukan hanya menggambarkan dunia, tetapi juga mengubah dunia melalui tindakan historis.
Aliran realisme sosialis dipercaya didirikan oleh Maxim Gorki (1868-1936). Ia adalah sastrawan yang berpengaruh bahkan hingga kini. Karya-karyanya banyak diwarnai semangat pemberontakan yang romantis dan pencarian akan nilai nilai keadilan. [3] Ia banyak mengisahkan tentang kehidupan buruh, pedagang kecil, kaum miskin kota yang selalu terseok-seok hidupnya.
Realisme Sosialis di IndonesiaDi Indonesia aliran realisme sosialis tumbuh sejalan dengan meningkatnya aktivitas politik menentang kolonialisme Belanda. Hal ini ditandai dengan munculnya karya-karya novel Rasa Merdika (Sumantri), Student Hidjo (Mas Marco) & Hikajat Kadiroen (Semaoen). Walau novel-novel tersebut ditulis para aktivis politik tetapi karya ini dianggap sebagai cikal bakal realisme sosialis Indonesia [4].
Adalah S.Soeddjojono pelukis yang dianggap sebagai pelopor realisme sosialis di bidang seni lukis, pertama, ia mendobrak hegemoni "Mooi-Indie" yakni kecenderungan untuk melukiskan alam dan orang Hindia yang serba indah, cantik dan eksotis. S.Soeddjojono membalikkan pandangan palsu itu dengan kenyataan realismernya, dimana di dalam pidato pembentukan organisasi PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937 menyatakan: "maka itu pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis, tetapi akan juga melukis pabrik-pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin, sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan" [5].
Pembentukan Persagi dengan statemen diatas, lalu pembentukan sanggar Pelukis Rakyat, Seniman Indonesia Muda & Bumi Tarung dapat memberikan arah penting bagi perkembangan seni lukis Indonesia yang memiliki kecenderungan bersifat kerakyatan. Sanggar-sanggar pada saat itu mempunyai peran penting dalam memberikan pendidikan seni & politik untuk massa rakyat, di mana di sanggarpun para seniman tak canggung berdiskusi politik bahkan bukan dengan orang dari kalangan seniman sekalipun.
Pendirian perguruan tinggi seni pertama di Indonesia yakni Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kelak bernama ISI) di Jogjakarta oleh seniman-seniman yang berkomitmen sosial menambah maraknya pemahaman akan seni kerakyatan, di mana ASRI kala itu memiliki semacam jargon: Melukis bersama Rakyat,elukis tentang Rakyat dan Melukis untuk Rakyat.
Dan tentunya semangat ini semakin mengkristal ketika terbentuknya Lekra {lembaga kebudayaan rakyat} pada tahun 1950 yang menghimpun semua pekerja seni dan budaya. Lekra dengan metode realisme sosialismenya mampu mendominasi dunia kesenian pada masanya dan dapat menyingkirkan karya-karya seniman bourjuis. Tercatat seniman-seniman besar di negeri ini adalah penggiat seni di Lekra seperti Rivai Apin, Agam Wispi, AS Dharta, Pramoedya A. Toer, S.Sudjojono, Harijadi, Affandi, Hendra Gunawan, Joko Pekik, Buyung Saleh, Joebar Ajoeb.
ORBA: Represifitas terhadap seniPada masa orba tindak represif dilakukan terhadap bidang kesenian, apalagi jika beraliran kerakyatan. Misal kita ingat pelarangan buku-buku Pramudya A. Toer, Joebar Ajub dll, termasuk pula pada dekade 90an bukan saja karya-karya seni kiri yang sulit didapat – misal puisi Widji Thukul - tetapi sejumlah pelarangan pula ditujukan terhadap seniman borjuis 'kritis', misal Ratna Sarumpaet, Rendra, Teater Koma, dll karena dianggap mengganggu kekuasaan yang ada, sebagai contoh ketika ada rencana pementasan teater "satu merah panggung" dibeberapa kota yang akan menampilkan sebuah cerita MARSINAH yang tewas mengenaskan di tangan aparat (TNI).
Pada masa ini banyak bermunculan komunitas sastra & teater buruh walaupun gerakannya sebatas 'moralitas' misalkan Teater Buruh Indonesia (TBI), Teater Aneka Buruh (Abu), Sanggar Pabrik, dll.
Dalam bidang seni rupa, Gendut Riyanto [6] mencatat tentang gerakan perlawanan seniman-seniman muda untuk mengkritisi perkembangan sosial politik. Disebut disitu peristiwa-peristiwa yang cukup penting pada masanya, misal "Pernyataan Desember Hitam 1974", "Pemberontakan Tengah Malam 7 November 1977", Pergelaran Seni "Kepribadian Apa" (dalam bentuk instalasi multi media dari seni rupa, drama & musik), Jogjakarta September 1977 dll.
Inilah yang dicatat oleh Gendut Riyanto: "...Apa yang patut dicatat dari perkembangan seni rupa kontemporer sejak tahun 70 sampai dengan 90-an terutama di Jogja adalah potensinya yang kuat menjadi front perlawanan terhadap kekuasaan politik orba, Mereka lebih terpesona pluralitas & demokratisasi seni dengan isu-isu politik, sosial & ekonomi ketimbang sentimentil personal yang memberhalakan bentuk seni yang sangat subyektif & individual...; Istilah yang khas mereka mendobrak "seni kamar" yang ketika itu merupakan bahasa pembungkaman terhadap gerakan politik dalam seni rupa kontemporer;.... kecuali itu gerakan seni rupa kontemporer secara radikal & konsepsional menggugurkan kekuasaan para elit di "menara gading seni & kekuasaan"" [7].
Apa yang penting dicatatat di sini ialah bahwa pekerja seni rupa tak canggung dalam mewujudkan isu-isu sosial politik termasuk dalam implementasinya beberapa kali mendampingi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa & rakyat (misal diantaranya kasus penggusuran Kaca Piring, Kedung Ombo, pembreidelan Tempo-Detik-Editor dll). Fenomena seperti itu paling tidak telah memberikan arah bagi perkembangan seni rupa. Saat itu kolaborasi antara seniman kiri dengan borjuis moderat berperan dalam melawan hegemoni kekuasaan orba.
Embrio Bangkitnya Seni KiriLalu bagaimana pada masa pasca reformasi?
Keran demokratisasi yang dibuka telah memberikan kesempatan pada pekerja seni kiri untuk berkarya & mengorganisir. Telah tumbuh kelompok-kelompok atau lembaga kebudayaan yang tak ragu mengusung semangat kerakyatan.
Yang bisa dikatakan pertama berdiri ialah lembaga Jakker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) yang bahkan berdiri pada masa kekuasaan Orba. Lembaga ini didirikan diantaranya oleh Widji Thukul, Semsar Siahaan & Mulyono, kini kabarnya telah memiliki banyak cabang kota. Salah seorang tokohnya yakni Widji Thukul menjadi fenomena tersendiri ketika pada masa-masa represifitas Orba, puisi-puisinya lantang menantang kekuasaan sehingga orang banyak menyebut karyanya sebagai puisi perlawanan & petikan puisinya pun kerap dijadikan jargon dalam aktivitas-aktivitas politik prodemokrasi: "...Hanya satu kata: Lawan!". Kini sosoknya menghilang entah ke mana semenjak meletus peristiwa 27 Juli 1996.
Di Solo para pekerja teater & sastra telah membentuk Dewan Kesenian Rakyat (Dekra) di samping pendirian organ Serikat Pengamen Indonesia (SPI) di mana ketuanya Gilang telah menemui ajal saat bergeloranya gerakan mahasiswa 1998 dan mayatnya ditemui dengan peluru bersarang di tubuh di sebuah hutan di Jember (Jawa Timur).
Di Jogjakarta berdiri Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang lebih menonjol dengan hasil karya seni rupanya & sebagai alat propaganda diterbitkan majalah Terompet Rakyat. Dalam platformnya tujuan pendirian TP adalah untuk mewujudkan seni yang dapat membuka peluang terselesaikannya keinginan, kebutuhan & cita-cita rakyat dengan menumbuhkan sikap kritis, progresif, memberi solusi & sikap revolusioner di masyarakat lewat karya seni. Juga dinyatakan bahwa mereka memilih aliran realisme sosialis sebagai pedoman berkarya & ideologi yang dianut ialah sosial demokratis kerakyatan. [8]
Di Bandung telah terbentuk kelompok kesenian Gerbong Bawah Tanah yang pada Januari lalu bersama Jakker menyelenggarakan "Pekan Budaya Pembebasan" dengan tema: Hancurkan Sisa-sisa ORBA: Golkar, Militer & Suharto. [9]
Para pemusik underground telah membentuk organ Jaringan Anti Fascist Nusantara (JAFN). Mereka selain turut dalam aksi-aksi demo, juga mengadakan pagelaran musik & penerbitan rekaman musik secara independen dan telah memiliki banyak cabang di berbagai kota di antaranya Jogjakarta, Bandung & Jakarta.
PenutupTentu saja tulisan ini tak cukup banyak memuat tentang berbagai macam aspek seni pembebasan secara keseluruhan. Tetapi yang dapat dikemukakan di sini ialah bahwa seni – seperti bidang kehidupan lainnya - akan selalu didominasi kelas berkuasa.
Pada masa sekarang di mana kapitalisme berkuasa, para pekerja seni telah disekap oleh ilusi & kesadaran palsu: seni hanya berlaku dari, demi & untuk nilai-nilai semata. Estetika ialah pengutamaan hanya pada bentuk, tehnik, gaya & keindahan semata dalam berkesenian. Sikap ini kontra produktif karena menyebabkan seni dijauhkan dari kondisi yang ada masyarakatnya yang penuh penindasan.Dan seni yang menghamba semata pada estetika akan terjebak pada komoditas seni sebagai pasar. Karena mereka terbuai dalam kenikmatan pasar, mereka menjadi anti pada bentuk-bentuk seni perlawanan, karena watak mereka menjadi anti pada perubahan & pendukung sistem masyarakat yang kini berlangsung.
Pada titik kesadaran inilah, diperlukan pendobrakan terhadap ideologi palsu seni borjuis; hegemoni ideologi borjuis harus dilawan dengan dengan ideologi seni yang memihak pada kelas rakyat tertindas. Disinilah fungsinya seni pembebasan dengan karya-karyanya yang memberi peran penyadaran; dalam arti bahwa masyarakat harus diberikan penyadaran tentang realitas sejarah masyarakat yang penuh penindasan & juga kesadaran bahwa dengan kekuatannya sendiri massa rakyat dapat merubah kondisi penuh penindasan ini menuju pembebasan rakyat sejati. Inilah inti yang dikandung dari semangat seni pembebasan.

Copyright © 2008 - RupaRupaYgBerupa - is proudly powered by Blogger
Blogger Template