Catatan Tentang Makna dan Lingkup dari Bidang Estetika dan Ilmu- ilmu Seni Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ini. Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995). Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 - 1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).Dalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda ‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika. Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani, ‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa. Jadi, estetik adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan kesadaran. Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini semakin jarang dipakai. Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna ‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. Dalam hal ini Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh. Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep. Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan. Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik. Secara garis besar apabila ruang lingkup estetika digambarkan dalam bentuk bagan diperoleh gambaran ( lihat Bagan Ruang Lingkup Estetika dan Ilmu-ilmu Seni).
Bagan Ruang Lingkup Estetika dan Ilmu- Ilmu Seni
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.Estetika empiris atau estetika keilmuan digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni dan Metodologi (Penciptaan) Seni. Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. Apabila di daerah asalnya yaitu negara Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika, baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan. Di perguruan tinggi filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak berkembang. Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni. Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru terlaksana pada periode itu.Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu. Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya. Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento Yuliman. Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni. Penelitian-penelitian tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi biografis kesejarahan. Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1 mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.
Seni rupa, sebagai sebuah entitas kesenian yang lentur dan terbuka, memiliki sifat dasarnya yang makin hari makin tak terbendung menerima pluralitas nilai-nilai. Hal tersebut semakin menarik untuk dicermati, apalagi ditunggangi oleh berbagai kepentingan arus utama posmodernisme yang mengacu atas nama bagaimana seni rupa dibaca ulang tak hanya sebagai keperluan estetika an sich semata. Ini juga berlaku dengan makin ditinggalkannya paradigma kuno art for art shake (seni dicipta sebagai hanya untuk kelangsungan hidupnya sendiri). Kita bisa menjadi saksi, misalkan sejak tampilnya karya Duchamp yang menghebohkan dunia di Amerika dengan mengusung kloset ke ruang pameran untuk menyindir produk budaya masa, atau almarhum Semsar Siahaan dengan G-8 Pizza-nya mengolok-olok dominasi kelompok negara-negara utara yang mengeksploitasi dunia berbentuk karya rupa limas segi delapan dari kardus di Galeri Nasional Indonesia tahun lalu. Belum lagi, dalam kaitannya dengan realitas material, seni rupa memiliki sifat ambigunya sebagai sebuah produk industri ”life style” dan mereproduksi makna-makna yang kadang kerap”membingungkan”, namun toh tetap bisa dikomersialkan. Alih-alih, menyerap fenomena cara berpikir kesenian Barat, malah menimbulkan terdepaknya seni tradisi atau semakin tak tersentuhnya seni lokal yang berakar pada spiritualitas, yang notabene adalah elemen penting tempat bersandarnya jiwa manusia selain kebutuhan keindahan fisik. Dengan sifat pluralitasnya itu pula, seni rupa terancam akan bagaimanakah sifatnya di masa depan yang serba tak terkontrol dan dianggap sebagai produk yang dianggap ”sah-sah saja” ditampilkan di publik dalam konsep, misi, format dan bentuk ekspresi apa pun. Tak ada penentu nilai yang paling sahih dan dijadikan pegangan pasti untuk mengenalnya sebagai sebuah karya dari budi dan daya insan seni manusia Indonesia. Perlu adanya sebuah paradigma khusus yang akan memandu membedakannya. Maka, di sini dibutuhkan kajian ilmu pengetahuan yang serius namun kontekstual sebagai jembatan pengertian atas proses berkesenian yang tak terjerumus pada ”pencanggihan” wacana ataupun konsep-konsep yang diusung oleh para penggiat seni yang cenderung memiliki arah ”penyesatan” kepada publik. Untuk menampilkan parasnya yang utuh dan tak sekedar dipergelarkan, kita mau tidak mau akan menengok pada bagaimana sejatinya tugas yang diemban oleh kritik seni rupa kita? Terutama dalam relasinya dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, hal ini sudah tak bisa lagi ditinggalkan sifat urgensinya. Mengingat sebagai suatu kebutuhan hidup, seni rupa telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, dan menjadi suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan lainnya. Dunia seni rupa Indonesia sudah selayaknya mempunyai nilai-nilai khusus tersendiri untuk menjawab ini. Mengutip ahli sejarah, Yudoseputro, bahwa dunia seni secara hakiki pada dasarnya memang memperlihatkan kandungan persepsi yang luas yang mencerminkan identitas profilnya yang tidak tunggal sehingga setiap jawaban dari permasalahannya memunculkan berbagai substansi yang kait-mengkait. Maka menjadi lazim, jika tuntutan perhatian terhadap kritik seni rupa dewasa ini tampaknya semakin meluas, dan tidak hanya dimonopoli lagi oleh lembaga-lembaga yang secara konvensional menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang seni rupa saja. Perhatian terhadap kritik seni rupa sebagai suatu masalah ilmu pengetahuan mandiri yang terelasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan sejarah semakin berkembang. Maraknya tulisan-tulisan kritik jurnalistik di media massa, internet, buletin seni rupa dan jurnal khusus yang membahas fenomena-fenomena yang terjadi di dunia seni rupa Indonesia dengan sumber rujukan kajian-kajian teranyar semisal culture studies adalah sebagai bukti. Kerangka kritik yang diaplikasikan dari sumber berbagai disiplin keilmuan itu, tentu saja, secara paradigmatik dijaga dengan gugusan teori, konsep, dan metode yang secara spesial melekat pada konvensi ilmu yang bersangkutan sebagai acuannya, yakni pendekatan kritik yang bersifat monodisipliner; yang karena itu sangat monolitik sifatnya. Dengan demikian, upaya untuk memulai memberikan perhatian pada kritik seni rupa dengan membuka pintu terhadap ilmu seni (science of art) dari berbagai disipliner ilmu akan memberi sumbangsih rumusan paradigma baru yang lentur, luwes, berasas lintas sektoral, dan multidisiplin. Seni rupa sebagai sebuah gejala seni yang kompleks dan plural, memerlukan juga kritik seni rupa dengan kajian perbandingan yang setara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada prinsipnya kajian tersebut memerlukan main theory mendasar, dan ini berimbas dari hasil studi berbagai disiplin ilmu yang didudukkan secara bersama. Atau boleh disebut sebagai reaksi atas asas keterpaduan antar-ilmu yang telah bermetamorfosis ini, berupa Metateori mandiri yang sekaligus teruji untuk menjadi wawasan mantap yang dapat memberi tempat utama sebagai alat penguji. Metateori inilah yang akan menjadi kerangka acuan yang disebut paradigma kritik seni rupa, yakni sebuah perangkat karakteristik keyakinan dan prakonsepsi, yang kemudian mencakup komitmen bersama (mind set/cara berpikir bersama) dalam mengimplementasikannya secara instrumental, teoretik, bahkan dalam jangkauan metafisik sekalipun. Dengan pertimbangan di atas, perlu dirasakan urgensinya menyusun suatu prosedur penelitian dan pengujian terhadap metodologi yang digunakan dalam penelitian kritik seni rupa yang berkembang ke arah yang semakin kompleks. Fenomena tersebut, tampaknya secara serta-merta sejalan dengan perkembangan dalam disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya dalam ilmu pengetahuan sosial yang menawarkan sejumlah paradigma alternatif dalam penelitian, dari pijakan filsafat ilmu pengetahuannya yang bergeser dari posisi positifisme (analisis ilmu pengetahuan alam) menuju keposisi yang kompleks (dimasukkannya disiplin ilmu-ilmu humaniora atau bahkan metafisika dalam membedah ilmu pengetahuan sosial).Pada akhirnya nanti, kritik seni rupalah dengan pengayaan dari berbagai inter disipliner ilmu dengan seluruh hasilnya—proyek penelitian, penerbitan jurnal, tulisan katalog pameran, seminar dan pendidikan khusus, penerbitan buku sejarah atau filsafat seni Indonesia, buku pedoman yang menjadi pegangan pelaksana kebijakan publik seni rupa oleh pemerintah dll—yang akan memberi gambaran secara gamblang dan tidak bersifat eksklusif terhadap identitas dan karakteristik yang bagaimanakah anatomi dunia seni rupa kita sekarang ini, selain bisa menjelaskan seberapa jauhkah pluralitas yang disandangnya. Out put dari ”perkawinan-kesetaraan inter disipliner” metode di atas, sepenuhnya tugas penting dan tanggung jawab bersama di antara elemen-elemen yang membentuk art world kita, terutama kalangan ilmuwan seni. Di antaranya boleh disebut sejarawan seni, kritikus, kurator, mahasiswa yang memiliki minat pada penelitian kritik seni rupa ataupun para pekerja seni secara umum dan tentu saja peran pemerintah untuk memfasilitasi.Kritik seni rupa menjadi sebuah ”mantra utama” yang terukur dan menjadi pegangan identitas seni rupa kita. Lebih dari sekadar digunakan sebagai media ”komentator” berbagai pameran lukisan parsial berupa tulisan di katalog atau ”akrobat wacana” untuk karya kontemporer misalnya di berbagai ruang-ruang seni publik. Namun, secara langsung menjadi sumber utama cara memandang atau berpikir dalam memahami dinamika pluralitas seni rupa dewasa ini. Semua ini, tentu membutuhkan energi yang luar biasa dari kita bersama untuk tanpa henti memperjuangkan keberadaannya.
SENI PEMBEBASAN : Ketika Seni Berpihak pada RakyatOleh Saepullah Ramadhan dan Ary Armenz
Bagaimana posisi seni dan para kreatornya, yakni pekerja seni di dalam perkembangan masyarakat?
Sesungguhnya hakekat seni - dalam hal ini bagaimana seni itu berposisi di dalam masyarakat - adalah perdebatan yang tak kunjung selesai. Ada beberapa pendapat yang berkembang:
1. Bahwa seni adalah produk sosial dari suatu sejarah masyarakatnya, karena itu akan selalu ada seniman yang mendukung aktif terhadap tatanan suatu peradaban masyarakatnya dan karenanya akan selalu kontra dengan pekerja seni yang beroposisi terhadap tatanan masyarakat yang berkembang, sehingga timbul pertentangan antara seniman borjuis sebagai pendukung peradaban kapitalisme dengan pekerja seni yang mengusung semangat kerakyatan dan percaya bahwa berakhirnya penindasan mayoritas manusia, harus di lakukan dengan jalan revolusi dan bahwa kebudayaan dan seni sekarang ini ditujukan untuk mendukung kemapanan budaya borjuasi & karenanya harus dilawan.
2. Seni yang dijadikan benda suci yang bebas steril dari kepentingan politik apapun dengan ideologinya ialah estetika dan artistik semata dan paham ini sangat mengagungkan segala macam teknik, gaya & bentuk dan mereka percaya seni adalah sesuatu yang bebas nilai guna mencapai kesempurnaan seni dan para seniman penciptanya takkan perduli pada kondisi sosial masyarakatnya yang penuh penindasan (dan sikap ini sedikit berbeda dengan sikap seniman borjuis yang "masih" memiliki komitmen sosial walau hanya sebatas 'moral', tetapi keduanya memiliki persamaan: bahwa mereka percaya pada tatanan masyarakat yang sekarang ada dan karenanya takut dengan sikap revolusioner pekerja seni yang memiliki semangat kerakyatan dan karenanya mereka akan memusuhinya habis-habisan).
Sikap seniman yang mengagungkan bentuk estetika semata inilah yang mendasari semangat "seni untuk seni" yang sesungguhnya akan menjauhkan seni dengan masyarakat. Jenis seni inipun akan terserap oleh pasar sebagai produk komoditas yang ekslusif dan mewah.
3. Suatu perkembangan seni dan budaya populer yang diproduksi secara massal oleh kekuatan pemodal demi kepentingan laba, dan juga media ini akan mudah dijadikan media hegemoni (yakni kesadaran palsu yang di propagandakan kelas berkuasa terhadap masyarakat lewat media seni populer), kelas borjuasi selain mendapat keuntungan secara kapital juga akan dapat menjejalkan ideologi mereka: Ideologi Borjuasi.
Dalam seni (film, musik, novel, sastra, dll) bisa di susupkan kesadaran-kesadaran palsu tentang keunggulan, kepercayaan dan kerealistisan sistem masyarakat, cara pandang dan pola pikir mereka. Sebaliknya dengan kekuatan media seninya mereka akan memblejeti dan menjatuhkan eksistensi ideologi lawan mereka, misal: Hollywood sering memproduksi film macam Rocky, Rambo atau James Bond hanya untuk mengunggulkan ideologi borjuasi mereka yang pada akhirnya secara tak langsung pada masyarakat akan tertancap kesadaran betapa tak realistisnya ideologi musuh mereka: dalam film itu di gambarkan bagaimana gagahnya jagoan hollywood itu mengacak-acak negeri yang menjadi musuh mereka dan digambarkan betapa sengsaranya kehidupan masyarakat pada negeri tersebut. Inilah contoh ekstrem & vulgar dari upaya hegemoni kelas borjuis.
Selain itu kekuatan media seni populer dapat mengalihkan persoalan masyarakat sebenarnya karena hiburan yang di produksi pemodal ini akan membuat orang lupa pada persoalan mereka sebenarnya sehingga mereka lebih senang bersifat apatis, hedonis, dan konsumtif. Jadilah kaum borjuis memproduksi industri musik, olah raga, film, mode/fashion, kafe, diskotik, dan semacamnya yang dikatakan sebagai pencitraan gaya hidup.
Berangkat dari pemahaman tersebut diaatas, ada fakta-fakta yang menjelaskan tentang potensi kekuatan seni yang luar biasa sebagai sarana penyebaran kesadaran oleh kelas berkuasa terhadap massa rakyat: tetapi karena itu pula harus dilakukan perlawanan terhadap ideologi yang dikembangkan kelas penguasa, karena itu maka roh dan semangat seni harus dikembalikan pada rakyat, bukan dikuasai oleh kekuatan pemodal.
Lalu disinilah dibutuhkan pembongkaran terhadap fungsi dan posisi seni yang telah direduksi oleh kelas borjuis dan karenanya dibutuhkan suatu semangat pembebasan yang berbasis pada massa rakyat. Seni bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi seni pun dapat berperan untuk mendorong perubahan dalam masyarakat, maka disinilah perlunya suatu seni pembebasan.
Seni dan MasyarakatSebelum beranjak lebih jauh terhadap hakekat seni yang sesungguhnya, tentu akan lebih baik kita mengkaji tentang gambaran masyarakat yang ada (tentu saja secara sekilas karena keterbatasan tempat).
Seperti kita ketahui, kekuatan kelas borjuis selalu berhasil mempertahankan kekuasaannya melalui kekerasan terlembaga (alat-alat hukum, penjara dan militer) & selain itu - seperti yang disebutkan di atas - mereka melakukan upaya hegemoni untuk memenangkan ideologi borjuis mereka. Dalam hal ini seni hanya dijadikan sarana untuk melapangkan penindasan.
Perkembangan seni selalu dipengaruhi oleh corak produksi yang berkembang pada masyarakat saat itu:
1. Pada masa komunal primitif manusia mengaktuallisasikan seni untuk menggambarkan kegiatan kolektif masyarakat dalam memenuhi corak produkasinya, misal: tari-tarian atau lukisan-lukisan di gua yang menggambarkan kegiatan berburu secara bersama.
2. Pada masa feodal seni dipakai untuk menyanjung dewa-dewa dan keluarga raja; artinya seni ditujukan pada kepentingan istana dan pendeta untuk mendukung corak produksi yang feodal.
3. Pada masa kapitalisme seni di jadikan alat untuk mengakumulasikan modal dan alat untuk melapangkan kekuasaan kelas penguasa, lewat hegemoni (kesadaran palsu ) yang di pasokan kelas borjuasi.
Seni dalam masa kapitalisme, telah benar-benar di paksa untuk tunduk pada mekanisme pasar. Banyak karya-karya yang berkembang demi alasan komersial, berisikan syair-syair cinta dan pemujaan terhadap kaum perempuan dan hal ini bisa menjebak pada perspektif sexis. Tapi lagu-lagu populer inilah yang laku di pasaran dan seolah hal itu bisa di terima oleh kaum perempuan itu sendiri. Sebagai contoh kita bisa lihat sebuah lagu kelompok Dewa yang berjudul Dua Sejoli dimana syairnya berisi tentang keberadaan kaum perempuan di bawah dominasi kaum laki-laki.
Memang pada prinsipnya seni dibawah kapitalisme berlaku sangat dangkal dan diskriminatif. Betapa jahatnya sistem ini sehingga dalam kenyataannya membunuh kreativitas para pekerja seni. Banyak pula pekerja seni yang terlena dalam sistem ini yakni sistem yang hanya berorientasi selera pasar sehingga mengabaikan nilai-nilai kesejatian dari seni itu senidiri. Tak salah bila kemudian seni yang lahir serba seragam dan anti demokrasi karena secara nyata para pekerja seni tidak diberikan kebebasan untuk berkarya.
Seni Pembebasan Sebagai Sarana Penyadaran Rakyat.Dari pemahaman ini timbullah suatu gerakan anti kemapanan terhadap budaya borjuis. Hal ini adalah konsekwensi logis yang terjadi dalam masyarakat. Di mana ada penindasan di situ ada perlawanan, karena dengan akal dan nuraninya, manusia mulai mencari sumber segala permasalahan pada masyarakatnya: maka didapatlah pemahaman bahwa sumber segala penindasan adalah pertentangan kelas yang tak terdamaikan antara kelas borjuis dengan kelas buruh. Kelas borjuis memerlukan penindasan yang terus menerus demi alasan pelanggengan akumulasi modal.
Dalam kesadaran demikian, bahwa dengan posisi dan potensinya, pekerja seni tidak saja menafsirkan dan menggambarkan dunia, tetapi lewat karya-karyanya dapat mendorong suatu "penyadaran" pada massa rakyat sehingga dapat membentuk kesadaran sejati. Juga ketika disadari ruang bergerak para seniman telah disekap, maka diperlukan pendobrakan terhadap kemapanan budaya yang ada. Mundurnya suatu budaya akan menimbulkan pemberontakan budaya pula seperti yang dikatakan Albert Camus "karena seni sesungguhnya adalah pemberontakan". Dan pemberontakan ini memerlukan suatu wacana (paham) dengan apa yang dinamakan sebagai seni pembebasan yakni seni yang membebaskan diri dari sekat-sekat besi yang diciptakan kaum borjuasi dimana seni dijauhkan dari semangat kerakyatan.
Mungkin terasa asing terdengar di telinga kita tentang mahluk yang bernama seni pembebasan atau sering pula orang menamakannya seni perlawanan karena di sini seni hadir sebagai perlawanan terhadap dominasi sistem (kapitalisme) yang ada. Dengan kata lain perlawanan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memeperoleh hak-haknya yang terampas oleh struktur (kapitalisme) yang berkuasa. Jelas bahwa bentuk seni perlawanan/pembebasan menempatkan keberpihakannya pada kelas rakyat tertindas. Menurut Goerge Lucacs [1] seni pembebasan sesungguhnya merupakan teori seni yang berdasarkan pada kontemplasi dialektika antara seniman dengan lingkungan tempatnya berada, hakekatnya seni sebagai wahana "penyadaran" masyarakat untuk keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teraliennasi dalam istilah Marx) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan [2]. Sebagai dasar dari perkembangan seni pembebasan ini lahirlah suatu genre baru dalam berkesenian dan dikenal dengan istilah Realisme Sosialis.
Secara singkat arti realisme sosialis ialah aliran seni yang mendasarkan diri pada kenyatan realitas masyarakat & sejarahnya dan dalam watak historisnya berperan untuk membuka penyadaran pada massa rakyat.
Diperkirakan tradisi relaisme sosialis lahir di Rusia meskipun pada awal kelahirannya sama sekali tidak dipersiapkan sebagai aliran dominan bagi kaum Kiri. Relisme sosialis bisa dikatakan lahir dari dialektika seni realisme klasik. Menurut Lucacs dalam studinya, sastra klasik Eropa abad ke 17 masih diliputi oleh kehidupan sehari-hari dan kadang bersifat mitologis dengan pandangan idealis dan abstrak, sesuai dengan watak historisnya saat itu (feodalisme). Seiring dengan tumbuhnya masa renaisanse (pencerahan) lahirlah seni realis yang lebih bisa mendasarkan diri pada kenyataan sosial masyarakatnya, lalu berkembangkah aliran realisme sosialis yang bukan saja kritis mengambarkan kondisi sosial saat itu, tapi juga memiliki kesadaran bahwa tugas manusia bukan hanya menggambarkan dunia, tetapi juga mengubah dunia melalui tindakan historis.
Aliran realisme sosialis dipercaya didirikan oleh Maxim Gorki (1868-1936). Ia adalah sastrawan yang berpengaruh bahkan hingga kini. Karya-karyanya banyak diwarnai semangat pemberontakan yang romantis dan pencarian akan nilai nilai keadilan. [3] Ia banyak mengisahkan tentang kehidupan buruh, pedagang kecil, kaum miskin kota yang selalu terseok-seok hidupnya.
Realisme Sosialis di IndonesiaDi Indonesia aliran realisme sosialis tumbuh sejalan dengan meningkatnya aktivitas politik menentang kolonialisme Belanda. Hal ini ditandai dengan munculnya karya-karya novel Rasa Merdika (Sumantri), Student Hidjo (Mas Marco) & Hikajat Kadiroen (Semaoen). Walau novel-novel tersebut ditulis para aktivis politik tetapi karya ini dianggap sebagai cikal bakal realisme sosialis Indonesia [4].
Adalah S.Soeddjojono pelukis yang dianggap sebagai pelopor realisme sosialis di bidang seni lukis, pertama, ia mendobrak hegemoni "Mooi-Indie" yakni kecenderungan untuk melukiskan alam dan orang Hindia yang serba indah, cantik dan eksotis. S.Soeddjojono membalikkan pandangan palsu itu dengan kenyataan realismernya, dimana di dalam pidato pembentukan organisasi PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937 menyatakan: "maka itu pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis, tetapi akan juga melukis pabrik-pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin, sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan" [5].
Pembentukan Persagi dengan statemen diatas, lalu pembentukan sanggar Pelukis Rakyat, Seniman Indonesia Muda & Bumi Tarung dapat memberikan arah penting bagi perkembangan seni lukis Indonesia yang memiliki kecenderungan bersifat kerakyatan. Sanggar-sanggar pada saat itu mempunyai peran penting dalam memberikan pendidikan seni & politik untuk massa rakyat, di mana di sanggarpun para seniman tak canggung berdiskusi politik bahkan bukan dengan orang dari kalangan seniman sekalipun.
Pendirian perguruan tinggi seni pertama di Indonesia yakni Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kelak bernama ISI) di Jogjakarta oleh seniman-seniman yang berkomitmen sosial menambah maraknya pemahaman akan seni kerakyatan, di mana ASRI kala itu memiliki semacam jargon: Melukis bersama Rakyat,elukis tentang Rakyat dan Melukis untuk Rakyat.
Dan tentunya semangat ini semakin mengkristal ketika terbentuknya Lekra {lembaga kebudayaan rakyat} pada tahun 1950 yang menghimpun semua pekerja seni dan budaya. Lekra dengan metode realisme sosialismenya mampu mendominasi dunia kesenian pada masanya dan dapat menyingkirkan karya-karya seniman bourjuis. Tercatat seniman-seniman besar di negeri ini adalah penggiat seni di Lekra seperti Rivai Apin, Agam Wispi, AS Dharta, Pramoedya A. Toer, S.Sudjojono, Harijadi, Affandi, Hendra Gunawan, Joko Pekik, Buyung Saleh, Joebar Ajoeb.
ORBA: Represifitas terhadap seniPada masa orba tindak represif dilakukan terhadap bidang kesenian, apalagi jika beraliran kerakyatan. Misal kita ingat pelarangan buku-buku Pramudya A. Toer, Joebar Ajub dll, termasuk pula pada dekade 90an bukan saja karya-karya seni kiri yang sulit didapat – misal puisi Widji Thukul - tetapi sejumlah pelarangan pula ditujukan terhadap seniman borjuis 'kritis', misal Ratna Sarumpaet, Rendra, Teater Koma, dll karena dianggap mengganggu kekuasaan yang ada, sebagai contoh ketika ada rencana pementasan teater "satu merah panggung" dibeberapa kota yang akan menampilkan sebuah cerita MARSINAH yang tewas mengenaskan di tangan aparat (TNI).
Pada masa ini banyak bermunculan komunitas sastra & teater buruh walaupun gerakannya sebatas 'moralitas' misalkan Teater Buruh Indonesia (TBI), Teater Aneka Buruh (Abu), Sanggar Pabrik, dll.
Dalam bidang seni rupa, Gendut Riyanto [6] mencatat tentang gerakan perlawanan seniman-seniman muda untuk mengkritisi perkembangan sosial politik. Disebut disitu peristiwa-peristiwa yang cukup penting pada masanya, misal "Pernyataan Desember Hitam 1974", "Pemberontakan Tengah Malam 7 November 1977", Pergelaran Seni "Kepribadian Apa" (dalam bentuk instalasi multi media dari seni rupa, drama & musik), Jogjakarta September 1977 dll.
Inilah yang dicatat oleh Gendut Riyanto: "...Apa yang patut dicatat dari perkembangan seni rupa kontemporer sejak tahun 70 sampai dengan 90-an terutama di Jogja adalah potensinya yang kuat menjadi front perlawanan terhadap kekuasaan politik orba, Mereka lebih terpesona pluralitas & demokratisasi seni dengan isu-isu politik, sosial & ekonomi ketimbang sentimentil personal yang memberhalakan bentuk seni yang sangat subyektif & individual...; Istilah yang khas mereka mendobrak "seni kamar" yang ketika itu merupakan bahasa pembungkaman terhadap gerakan politik dalam seni rupa kontemporer;.... kecuali itu gerakan seni rupa kontemporer secara radikal & konsepsional menggugurkan kekuasaan para elit di "menara gading seni & kekuasaan"" [7].
Apa yang penting dicatatat di sini ialah bahwa pekerja seni rupa tak canggung dalam mewujudkan isu-isu sosial politik termasuk dalam implementasinya beberapa kali mendampingi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa & rakyat (misal diantaranya kasus penggusuran Kaca Piring, Kedung Ombo, pembreidelan Tempo-Detik-Editor dll). Fenomena seperti itu paling tidak telah memberikan arah bagi perkembangan seni rupa. Saat itu kolaborasi antara seniman kiri dengan borjuis moderat berperan dalam melawan hegemoni kekuasaan orba.
Embrio Bangkitnya Seni KiriLalu bagaimana pada masa pasca reformasi?
Keran demokratisasi yang dibuka telah memberikan kesempatan pada pekerja seni kiri untuk berkarya & mengorganisir. Telah tumbuh kelompok-kelompok atau lembaga kebudayaan yang tak ragu mengusung semangat kerakyatan.
Yang bisa dikatakan pertama berdiri ialah lembaga Jakker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) yang bahkan berdiri pada masa kekuasaan Orba. Lembaga ini didirikan diantaranya oleh Widji Thukul, Semsar Siahaan & Mulyono, kini kabarnya telah memiliki banyak cabang kota. Salah seorang tokohnya yakni Widji Thukul menjadi fenomena tersendiri ketika pada masa-masa represifitas Orba, puisi-puisinya lantang menantang kekuasaan sehingga orang banyak menyebut karyanya sebagai puisi perlawanan & petikan puisinya pun kerap dijadikan jargon dalam aktivitas-aktivitas politik prodemokrasi: "...Hanya satu kata: Lawan!". Kini sosoknya menghilang entah ke mana semenjak meletus peristiwa 27 Juli 1996.
Di Solo para pekerja teater & sastra telah membentuk Dewan Kesenian Rakyat (Dekra) di samping pendirian organ Serikat Pengamen Indonesia (SPI) di mana ketuanya Gilang telah menemui ajal saat bergeloranya gerakan mahasiswa 1998 dan mayatnya ditemui dengan peluru bersarang di tubuh di sebuah hutan di Jember (Jawa Timur).
Di Jogjakarta berdiri Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang lebih menonjol dengan hasil karya seni rupanya & sebagai alat propaganda diterbitkan majalah Terompet Rakyat. Dalam platformnya tujuan pendirian TP adalah untuk mewujudkan seni yang dapat membuka peluang terselesaikannya keinginan, kebutuhan & cita-cita rakyat dengan menumbuhkan sikap kritis, progresif, memberi solusi & sikap revolusioner di masyarakat lewat karya seni. Juga dinyatakan bahwa mereka memilih aliran realisme sosialis sebagai pedoman berkarya & ideologi yang dianut ialah sosial demokratis kerakyatan. [8]
Di Bandung telah terbentuk kelompok kesenian Gerbong Bawah Tanah yang pada Januari lalu bersama Jakker menyelenggarakan "Pekan Budaya Pembebasan" dengan tema: Hancurkan Sisa-sisa ORBA: Golkar, Militer & Suharto. [9]
Para pemusik underground telah membentuk organ Jaringan Anti Fascist Nusantara (JAFN). Mereka selain turut dalam aksi-aksi demo, juga mengadakan pagelaran musik & penerbitan rekaman musik secara independen dan telah memiliki banyak cabang di berbagai kota di antaranya Jogjakarta, Bandung & Jakarta.
PenutupTentu saja tulisan ini tak cukup banyak memuat tentang berbagai macam aspek seni pembebasan secara keseluruhan. Tetapi yang dapat dikemukakan di sini ialah bahwa seni – seperti bidang kehidupan lainnya - akan selalu didominasi kelas berkuasa.
Pada masa sekarang di mana kapitalisme berkuasa, para pekerja seni telah disekap oleh ilusi & kesadaran palsu: seni hanya berlaku dari, demi & untuk nilai-nilai semata. Estetika ialah pengutamaan hanya pada bentuk, tehnik, gaya & keindahan semata dalam berkesenian. Sikap ini kontra produktif karena menyebabkan seni dijauhkan dari kondisi yang ada masyarakatnya yang penuh penindasan.Dan seni yang menghamba semata pada estetika akan terjebak pada komoditas seni sebagai pasar. Karena mereka terbuai dalam kenikmatan pasar, mereka menjadi anti pada bentuk-bentuk seni perlawanan, karena watak mereka menjadi anti pada perubahan & pendukung sistem masyarakat yang kini berlangsung.
Pada titik kesadaran inilah, diperlukan pendobrakan terhadap ideologi palsu seni borjuis; hegemoni ideologi borjuis harus dilawan dengan dengan ideologi seni yang memihak pada kelas rakyat tertindas. Disinilah fungsinya seni pembebasan dengan karya-karyanya yang memberi peran penyadaran; dalam arti bahwa masyarakat harus diberikan penyadaran tentang realitas sejarah masyarakat yang penuh penindasan & juga kesadaran bahwa dengan kekuatannya sendiri massa rakyat dapat merubah kondisi penuh penindasan ini menuju pembebasan rakyat sejati. Inilah inti yang dikandung dari semangat seni pembebasan.
Ada Mural di Kolong Tol
Kolong jembatan layang di beberapa wilayah di Jakarta, kini terlihat lebih berwarna. Puluhan lukisan dinding, yang biasa disebut mural tersebar di dua puluh lima titik persimpangan jalan di wilayah Kota Jakarta. Seperti di persimpangan Cempaka Putih, persimpangan Pancoran dan di persimpangan Slipi.
Penggunaan warna mencolok dan bergradasi, menjadi ciri khas mural. Tujuannya memang untuk menarik perhatian orang yang melintas. Mural bertema tertib lalu lintas ini digagas oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, bersama seratus seniman mural. Selama sepekan mereka melukis kolong jembatan layang.
Bahkan ada juga anggota polisi yang ikut melukis mural. Mural berkembang di Indonesia sejak tahun 1990-an, berawal dari Kota Yogyakarta. Lambat laun mural merambah ke kota besar lainnya, seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Awalnya seni ini berkembang sebagai upaya meredam aksi vandalisme di wilayah publik. Belakangan, mural menjadi trend di kalangan generasi muda dan pekerja seni, sebagai salah satu cara menyalurkan kebebasan berekspresi. Mural berbeda dengan lukisan vandalisme atau lukisan ngebom, istilah untuk lukisan liar. Mural lebih tertata dan memberi pesan berguna bagi yang menyaksikannya.
Seni lukis kontemporer ini bisa bergaya naturalis atau pun surialis. Seperti karya, mahasiwa Universitas Negeri Jakarta ini, yang mengambarkan potret Kota Jakarta yang diteror polusi udara. Lukisan ini dapat disaksikan di kolong jembatan layang di persimpangan Slipi Jakarta.
Mural memberi kebanggaan tersendiri pada pelukisnya. Karena karyanya dapat dinikmati publik. Hanya dengan bermodalkan cat tembok, mural dapat dibuat di mana saja. Terutama di tembok-tembok di sepanjang jalan dan perempatan yang ramai.
Melukis mural diawali dengan pembuatan sketsa pada sehelai kertas. Kemudian sketsa dipindahkan ke dinding tembok. Dalam melukis mural ada pemimpin proyek dan pembantu proyek, atau asisten.
Sang pemimpin biasanya membuat sketsa di dinding, lalu proses penebalan gambar dilakukan oleh para asistennya. Kemudian secara bersama-sama mereka melakukan penyelesaian gambar, dan menuliskan pesan-pesan tertentu, digambar yang mereka buat.
Melukis mural membutuhkan waktu yang cukup lama, para seniman mural ini rela tidur di lokasi untuk menyelesaikan karya mereka. bidang lukis yang luas. Membuat lukisan mural harus dikerjakan oleh beberapa orang. Meski memerlukan kesabaran, menghasilkan mural membawa kepuasan tersendiri. Selain menjadi wadah berkreasi, mural menjadi alternatif untuk menyalurkan kreativitas.
Dengan mural, aksi corat-coret di tempat umum dapat dialihkan menjadi karya yang bermanfaat dan dapat dinikmati umum. Pesan di mural juga dapat langsung menyentuh warga yang melihatnya.(Helmi Azahari/Ijs)
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.
Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, “Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan.”
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis “cikal bakal” yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
“Karena, sekalipun pendasaran filsafat teori sudah benar, karena belum adanya tradisi yang cukup lama, memudahkan orang melukiskan atau menggambarkan sesuatu yang menyalahi teori marxis,” tulisnya.
Lepas dari itu, komitmen kerakyatan yang mereka bangun tampaknya telah menjadi dasar yang tak pernah hilang dalam perkembangan realisme sosialis Indonesia di kemudian hari, karena landasan inilah yang kelak menjadi alat pemersatu berbagai gaya yang muncul dalam realisme sosialis Indonesia.
Meskipun definisi realisme sosialis semacam itu masih demikian lentur, bisa dicatat sebagai awal mula realisme sosialis muncul sebagai aliran di Indonesia, sampai kemudian lahirlah Lekra. Kelenturan gaya realisme sosialis Lekra bisa dilihat dari tradisi seni rupa mereka, yang menurut Brita L Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, berpangkal pada telah adanya berbagai gaya, mulai dari gaya realisme (foto) Soedjojono, bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra, ataupun gaya surealistik Harijadi. Pegangan umum yang biasanya digunakan oleh para seniman tersebut adalah prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat kecil.
Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…”.
Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah.
Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.
Novel sejarah
Dengan begitu, dalam karya-karya Pramoedya, tradisi realisme tak hanya hadir begitu saja sebagai representasi kenyataan manusia dan masyarakat seutuhnya, atau dalam bentuknya yang semibiografis sebagaimana yang diterapkan oleh Gorky, tetapi juga menjelma dalam genrenya yang baru: novel sejarah.
Dalam studinya mengenai novel sejarah (Eropa), Lukács memperkirakan kebangkitan novel sejarah berawal pada abad kesembilan belas menyusul kejatuhan Napoleon. Memang ada novel sejarah sebelumnya, tetapi selalu dalam bentuk adaptasi sejarah klasik dan mitologi. Sejak masa Napoleon, sejarah tak hanya merupakan sejarah bagi orang besar, tetapi juga merupakan pengalaman sejarah bagi sebuah bangsa hingga ke stratanya yang paling bawah. “Untuk pertama kali mereka mengalami Perancis sebagai negara mereka sendiri, sebagai tanah air yang mereka ciptakan sendiri.”
Sejak itu pula, dalam sastra, sejarah juga dihadirkan sebagai pengalaman massa. Inilah tren kelahiran novel sejarah yang dimaksud Lukács. Dalam novel sejarah Sir Walter Scott, Waverley, misalnya, peristiwa Revolusi Perancis menghasilkan transformasi ekonomi dan politik hampir ke seluruh Eropa. Perubahan-perubahan ekonomi politik ini diterjemahkan Scott ke dalam nasib manusia, lebih tepatnya, menukik jauh ke psikologi manusia. “Dalam penggambaran Scott, kebutuhan akan sejarah selalu merupakan sebuah hasil, bukan suatu anggapan; itu merupakan atmosfer tragis dari sebuah periode, dan bukan obyek refleksi seorang penulis,” Lukács menyimpulkan.
Dalam novel sejarahnya, Pramoedya juga menampilkan tokoh “orang-orang biasa” (meski dalam Arok Dedes, Pramoedya datang dengan pahlawan istana). Sejarah dilihat secara totalitas dalam Tetralogi Buru, misalnya.
Dalam kuartet tersebut, Pramoedya tak hanya menampilkan sosok Minke, sang pengubah sejarah. Sosok pahlawan pengubah sejarah telah hadir dalam roman-roman sejarah bahkan mite-mite klasik, juga dalam tradisi romantik. Akan tetapi, dalam Pramoedya, Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke, tetapi juga mengenai nasib sebuah bangsa, jika tidak bisa disebut nasib bangsa-bangsa (dalam bagian Anak Semua Bangsa diperlihatkan bahwa pergolakan utama kisah ini juga meliputi kebangkitan nasional di China, semangat Revolusi Perancis, kemenangan Jepang atas Rusia, dan lain sebagainya). Pengalaman sejarah tak hanya milik Minke, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Mereka semua merasakan “atmosfer tragis dari sebuah periode” sebagaimana diungkapkan Lukács di atas.
Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Sejarah Pramoedya bukanlah sejarah orang-orang yang menang (kecuali, sekali lagi dalam Arok Dedes). Lihat, misalnya, tokoh Wiranggaleng dalam roman Arus Balik. Juga tokoh Den Hardo dalam roman Perburuan yang, meskipun berhasil melihat kemerdekaan Indonesia yang diidam-idamkannya, harus ditebus dengan sangat mahal oleh kematian kekasihnya di depan mata.
Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran.
NARASI SIMBOLIK DALAM SENI RUPA KONTEMPORER INDONESIA
PhD Theses from JBPTITBPP / 2007-12-06 15:18:33
Oleh : Acep Iwan Saidi (NIM: 37003002), Department of Art
Dibuat : 2007-08-00, dengan 9 file
Keyword : Narrative; symbol; symbolic narratives; comtemporary arts; hermeneutics; structuralism.
Kepala Subjek : Art
Abstrak:
Disertasi ini bertajuk Narasi Simbolik dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Di dalamnya dianalisis tentang struktur dan pola narasi simbolik seni rupa kontemporer Indonesia. Di samping itu, dibahas juga aspek tematik di balik narasi tersebut. Seni rupa kontemporer yang dianalisis dibatasi pada tujuh perupa, yakni Tisna Sanjaya, Heri Dono, Agus Suwage, Arahmaiani, Dede Eri Supria, Ivan Sagita, dan I Gusti Ayu Kadek Murniasih. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan beberapa alasan, antara lain eksistensi seniman pada zamannya dan kesesuaian karya sebagai subjek penelitian dengan topik disertasi.Pilihan atas topik narasi simbolik dilakukan dengan pertimbangan pada kemenarikan topik ini diangkat sebagai bahan penelitian. Dalam sejarah dan wacana seni rupa Indonesia, penyebutan dan pengkategorian atas seni rupa yang bersifat naratif sering dilakukan orang. Akan tetapi, sejauh ini belum ada kajian akademik yang mendalam dan terstruktur tentang apa dan bagaimana sebuah
karya rupa bisa disebut naratif. Melalui penelitian disertasi ini penulis telah menemukan jawaban atas persoalan tersebut. Dengan menggunakan metode struktural Ferdinand de Saussure dan hermeneutika Paul Ricoeur, dalam disertasi ini dikemukakan penemuan tentang
struktur dan pola narasi simbolik pada karya tujuh perupa kontemporer yang bisa digunakan sebagai salah satu model pembacaan terhadap seni rupa kontemporer Indonesia yang sejenis secara keseluruhan. Pada tahap pertama, karya rupa bisa disebut naratif jika di dalamnya terdapat
relasi antardua atau lebih elemen rupa yang membangun cerita. Elemen rupa yang dimaksud adalah peristiwa, tokoh, setting (ruang), alur (waktu), sudut pandang,
dan pola ucap. Elemen-elemen ini bisa berbanding lurus dengan apa yang dikandung dalam karya sastra sebab istilah narasi itu sendiri awalnya memang berada dalam ranah disiplin ilmu susastra. Namun, pada tahap berikutnya, karya seni rupa harus dibedakan dengan sastra. Karya rupa bercerita dalam tanda tanda visual yang membutuhkan pemahaman lebih jauh daripada teks sastra yang berbahasa verbal. Oleh sebab itu, dalam disertasi ini narasi dalam seni rupa disebut sebagai narasi simbolik, cerita yang terbangun melalui relasi antarelemen simbolik. Narasi simbolik dalam karya rupa juga lebih banyak terbangun secara inplisit (in absentia) atau terpola dalam benak apresiator setelah melihat karya
Dalam lingkup lebih luas, melalui analisis terhadap struktur dan pola narasi simbolik juga ditemukan hubungan antara struktur dan pola tersebut dengan struktur dan pola budaya masyarakat sebagai tempat para seniman hidup dan berkarya, yakni kebiasaan bercerita yang sangat menonjol dan telah berlangsung sejak lama sebagai warisan budaya. Dengan tafsir hermeneutika yang juga menggunakan psikoanalisis Jung sebagai teori pendukung yang relevan,
ditemukan bahwa narasi simbolik dalam karya rupa itu muncul sebagai ketaksadaran kolektif (collective unconsciouse). Secara visual, ketaksadaran kolektif itu juga muncul dalam teknik mengambar yang antara lain memiliki benang merah dengan cara menggambar masyarakat prasejarah dan tradisi. Kajian atas struktur dan pola narasi simbolik demikian merupakan kajian pada
lapis bentuk. Pada lapis tematik ditemukan bahwa narasi narasi yang dibangun berkisar pada soal-soal kekinian, yakni masalah politik, gender, kemiskinan, spiritualitas, tubuh, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan tradisi dan nilai lokal dalam perspektif kontemporer. Tema-tema ini dikemukakan dalam pola ucap visual yang naratif dan memiliki benang merah dengan ketaksadaran kolektif
sebagaimana telah dikemukakan.
Deskripsi Alternatif :
Abstrct:
The title of the dissertation is the Symbolic Narratives of Indonesian Contemporary Arts. The structures and the symbolic narrative patterns of Indonesian contemporary arts as well as the themes beyond the narratives are
analyzed. The art works are limited to seven artists including Tisna Sanjaya, Heri Donos, Agus Suwages, Arahmaiani, Dede Eri Supria, Ivan Sagita, and I Gusti Ayu Kadek Murniasih. The limitation is done for some reasons including the existence of the artists in their periods and the relevance of their works as the subject of research with the topic of dissertation. The choice of symbolic narrative topic is based on the attractiveness of the topicas the object of research. In Indonesian arts history, addressing and categorizing narrative visual arts have been commonly conducted. However, a comprehensive and systematic study on what and how an art work can be regarded as narrative has not been done.
This study attempts to seek the answer of the research question. By applying Sausurre structural method and Ricoeur hermeneutics, the structures and the symbolic narrative patterns of the seven artists works can be used as a reading model for similar Indonesian contemporary arts as a whole. On the first step, an art work can be regarded as narrative if there is a relation
between two or more visual elements that develop a story. The visual elements include event, character, setting, plot, point of view, and word pattern. The elements are parallel with the content of literature works since the term narrative derived from the area of literature. Yet, on the next step, art works should be distinguished from the literature. Art works tell stories by employing visual signs that require a comprehensive understanding than the literature works using verbal language. Therefore, in this dissertation, narrative in visual arts is called symbolic narrative the story that is developed through the relation between symbolic elements. The symbolic narratives in visual arts are more developed implicitly (in absentia) or patterned on the appreciators minds after seeing the works (after image).
On a broader scope, through the analysis of structures and the symbolic narrative patterns a relation between the structures and symbolic narrative patterns with the
structures and the patterns of culture as the place where the artists live and work is discovered. It is the distinctive tradition of telling stories, and it has been going on for ages as a culture heritage. Through the interpretation of hermeneutics adopting Jung psychoanalysis as the relevant supporting theory, it is found that the symbolic narratives in visual arts appear as the collective unconsciousness.
Visually, the collective unconsciousness also appear in the drawing technique that has a relation with the drawing method of prehistoric society and tradition.
The study on the structures and symbolic narrative patterns is a study on the form aspect. On the aspect of theme, it is found that the developed narratives revolve
around the present matters including politic, gender, poverty, spiritualism, body, and those related to the tradition and the local values in the contemporary
prospective. The themes are found in the narrative visual word patterns and has a relation with the collective unconsciousness mentioned previously.
Copyrights : Copyright (c) 2007 by Faculty of Art and Design .Information Dissemination Right @2007 ITB Central Library, Jl. Ganesha 10 Bandung,40132, Indonesia.
Bayangkan, anda memasuki ruangan dokter sambil membawa kartu cerdas berisi seluruh informasi genetik tubuh anda yang telah dikode dan diamankan dengan nomor PIN seperti anda membuka ATM. Dengan melihat data-data informasi genetik anda yang unik, dokter dapat menentukan obat yang tepat dalam dosis yang akurat secara efisien sesuai dengan kondisi anda tanpa khawatir akan terjadinya ADR (Adverse Drug Reaction), efek samping maupun ketidaktepatan pemilihan obat. Keadaan tersebut merupakan impian para ilmuwan yang bergerak di bidang farmakogenetik, suatu ilmu yang menghantarkan manusia pada "pengobatan individual/pengobatan butik" berdasarkan pemetaan lengkap seluruh gen yang dimiliki tubuh manusia. Para ilmuwan di bidang biologi molekuler yang tergabung dalam Human Genome Project (HGP) telah mengumumkan hasil sekuensing sekitar 100.000 gen manusia tertanggal 26 juni 2000. Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat, rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis, maupun resiko efek samping karena penggunaan metode trial-and-error.
Tak ingin jauh berbeda dari impian para pharmacogenomist, para neuroscientist yang meneliti dopamin -zat kimia otak yang secara alami disintesis terutama dalam jaringan saraf dan kelenjar adrenal- semakin gencar menelusuri mekanisme dan jalur-jalur biokimia yang terkait dengan si penghantar signal antar saraf sekaligus neurohormon itu. Sebagai neurotransmitter, dopamin menghantarkan pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain sedangkan sebagai neurohormon, dopamin bekerja menghambat pelepasan prolaktin dari lobus interior pituitary.
Para neurophysiologist, computer scientist, psychologist dan economist yang berkolaborasi dalam studi interdisiplin di jurnal Nature vol. 9, Agustus 2006, mengemukakan hipotesa mengenai sel saraf dopamin otak tengah sebagai pengkode dalam menentukan pengambilan keputusan. Menggunakan monyet macaque (Macaca fasicularis) sebagai binatang percobaan, G. Morris et al. melaporkan analisis hasil penelitian mereka yang menunjukkan bahwa sel saraf dopamin dalam perilaku primata membawa sinyal yang berguna untuk mempelajari kemungkinan reward dan probabilitas pengambilan keputusan atas adanya reward tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa sel saraf dopamin mengkode aksi yang akan dilakukan ketika suatu reward diberikan. Peran utama dopamin sebagai pusat reward reinforcement dan motivasi perilaku adalah daya pikat utama molekul ini sehingga membuat para ilmuwan tertarik untuk bergabung dalam studi interdisiplin untuk mempelajari lebih dalam mengenai jalur-jalur dopamin.
Secara sederhana, reward adalah segala sesuatu dimana makhluk hidup akan berusaha melakukan kerja untuk mendapatkannya. Contohnya: makanan dan seks. Fenomenanya dinamakan brain stimulation reward (BSR). Hal yang menarik dalam eksperimen BSR ialah bahwa reward itu sendiri tidak akan memberikan rasa kepuasan. Penelitian BSR digalakkan untuk menghantarkan pemahaman mengenai bagaimana otak secara keseluruhan mengatur dirinya sendiri untuk membentuk sebuah perilaku. Terkait dengan ini, sel saraf dopamin akan diaktivasi ketika suatu rangsangan reward muncul. Dopamin dipercaya oleh para ilmuwan sebagai zat kimia yang ikut bertanggung jawab menentukan perilaku pengambilan keputusan oleh otak. Ketika suatu rangsangan reward yang sama muncul kembali, ada sebuah keterulangan perilaku untuk merespon. Hal ini menyebabkan penelitian dopamin dianggap sebagai salah satu kunci dalam mengungkapkan proses learning and memory. Dapat anda bayangkan, bahwa sesungguhnya sebuah keinginan, sebuah pemikiran, bahkan sebuah perilaku, dapat ditebak dan dipetakan dengan mempelajari rangkaian molekul-molekul dalam otak.
Menelusuri fungsi dopamin selanjutnya, molekul ini berperan dalam banyak perilaku manusia dalam kehidupan. Mulai dari kecanduan, psikosis, kegelisahan, perubahan mood sampai perilaku abnormal akibat ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak.
Cinta dan Dopamin
Jika anda jatuh cinta, maka rasa `pleasure feelings` yang anda rasakan adalah peran dopamin. Bersama dengan meningkatnya kadar adrenalin yang mempercepat denyut jantung, serta rendahnya kadar serotonin yang menyebabkan rasa obsesif (kepemilikan), dopamin memberikan efek membahagiakan, meningkatan energi, menurunkan nafsu makan, dan mengurangi konsentrasi.
Kolaborasi anthropologist, physiologist dan neuroscientist dalam The Journal of Comparative Neurology vol. 493 Oktober 2005 melaporkan hasil riset mereka menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk memperhatikan otak 17 orang wanita dan pria saat mereka sedang memperhatikan foto lawan jenis yang disukainya. Data hasil scan menunjukkan bahwa adanya peningkatan aliran darah dalam otak serta adanya peningkatan kadar reseptor dopamin dalam area caudate nucleus dan ventral tegmental area (VTA) sebelah kanan. Menurut Dr. Helen Fisher dari Rutgers University dalam jurnal yang sama mengatakan bahwa apa yang nampak dalam alat scan tersebut adalah suatu keinginan biologis untuk fokus terhadap satu objek. Tingginya kadar dopamin diasosiasikan dengan meningkatnya perhatian, hiperaktivitas, keresahan dan perilaku goal-oriented. Dengan kata lain, seseorang yang berada dalam situasi ini akan terfokus kepada pasangannya dan kurang perhatian terhadap hal yang lainnya.
Dalam jangka waktu tertentu setelah hubungan intens/aktivitas seksual, oksitosin dan vasopressin akan mempengaruhi jalur-jalur dopamin dan adrenalin, sehingga menyebabkan kadar kedua molekul ini menurun. Mekanisme ini dipercaya menyebabkan `pleasure feelings` memudar setelah beberapa lama hubungan intens atau terjadinya aktivitas seksual. Sebuah tim kolaborasi ilmuwan dari Universitas Pisa di Italia menyebutkan bahwa, studi menunjukkan `pleasure feelings` dan `passionate` akan memudar dan hampir-hampir hilang setidak-tidaknya 2 tahun setelah hubungan intens antar pasangan terjadi. Perubahan kadar `kimia cinta` berupa dopamin, adrenalin, norepinephrin, dan phenylethylamin adalah penyebabnya sehingga suatu reward akan lebih ditanggapi secara rasional daripada mengandalkan aktifitas hormonal.
Candu dan Dopamin
Love 'as addictive as cocaine` begitu komentar para neuroscientist yang memang bisa dibuktikan oleh mekanisme molekuler. Diatas telah disebutkan bahwa `pleasure feelings` saat jatuh cinta merupakan ulah dopamin. Begitu pula mekanisme kecanduan yang diberitakan oleh Eric J. Nestler dalam Jurnal Nature Neuroscience oktober 2005. Mekanisme kecanduan terkait erat dengan jalur mesolimbic dopamin yang meliputi dopaminergic sel saraf di VTA serta daerah limbic forebrain, terutama nucleus accumbens (NAc). Jalur VTA-NAc ini adalah jalur terpenting dalam efek akut sistem reward dalam semua jenis adiksi obat. Beberapa jenis obat dan senyawa yang menyebabkan adiksi diantaranya ialah amfetamin, kokain, opiat, alkohol dan nikotin. Senyawa seperti kokain misalnya, dapat menyebabkan beberapa ribu kali peningkatan kadar dopamin dalam otak. Hal ini akan menyebabkan kecanduan dan perasaan ingin mendapatkan `pengalaman rasa` yang sama. Gangguan pada ketersediaan dopamin maupun jumlah reseptor dopamin akan dapat menyebabkan abnormalitas perilaku dan aktifitas gerak.
Beberapa area otak yang terkait dengan jalur VTA-NAc juga essensial dalam mekanisme reward dan perubahan reward secara kronik dalam kaitannya dengan adiksi. Area yang dimaksud adalah amygdala, hippocampus, hipotalamus, dan beberapa wilayah di korteks frontal. Beberapa area ini adalah bagian penting dari sistem penyimpanan memori di otak. Hal ini menghantarkan kepada pemahaman bahwa aspek-aspek penting dalam mekanisme adiksi sangat terkait dengan memori.
Selanjutnya ada suatu indikasi bahwa jalur VTA-NAc dan beberapa wilayah sistem limbik tersebut juga memediasi efek `natural addiction` terhadap `natural rewards` seperti makanan, seks dan interaksi sosial. Dalam jurnal Molecular Psychiatry, Volkow, N. D et al. melaporkan bahwa ditemukannya abnormalitas yang serupa dari hasil scan penampakan otak untuk kecanduan obat dan kecanduan alamiah (natural addiction). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut untuk mekanisme kecanduan alamiah ini masih perlu dilakukan, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dan heterogennya sindrom klinik yang muncul.
Eisch, A.J. dalam Progress in Brain Research melaporkan bahwa setelah pemakaian secara kronik, beberapa obat yang memiliki efek candu berkecenderungan untuk mengurangi neurogenesis (pembentukan sel saraf baru) di otak daerah dentate gyrus hippocampus orang dewasa. Sampai saat ini fungsi neurogenesis hippocampal orang dewasa merupakan subjek yang masih sangat kontroversial. Pembentukan sebuah sel saraf baru dipercaya merupakan hal yang esensial dalam pembentukan sebuah memori baru. Penemuan selanjutnya untuk memperkuat bukti bahwa penggunaan obat-obat tertentu secara kronik dapat mereduksi neurogenesis masih dinantikan. Penemuan tersebut akan berguna untuk menjawab pertanyaan mengenai mekanisme abnormalitas perilaku yang menyimpang dan ingatan yang berkurang dari banyak kasus kecanduan.
Candy dan dopamin
Jika anda menginginkan sebuah permen yang pernah anda rasakan sebelumnya, reward yang ditimbulkan ketika anda ingin merasakan nikmatnya pengalaman mengunyah permen tersebut juga adalah peran dopamin. Ketika manusia lapar dan melihat makanan, sel-sel dopamin akan teraktivasi. Kalau anda memakan makanan yang sangat lezat dan pada waktu yang lain anda melihatnya kembali, sel-sel dopamin anda akan teraktivasi hingga mengumpul dan menjenuh. Riset selanjutnya dalam kaitan antara dopamin dan makanan dilaporkan oleh Volkow.N et al. dari Brookhaven National Laboratory yang membawa kemungkinan baru dalam strategi pengobatan obesitas/ kegemukan. Ditemukan adanya abnormalitas kadar reseptor dopamin dalam otak orang-orang yang kegemukan. Dengan menggunakan PET (Positron Emission Topography) dan senyawa radioaktif, dilakukan pengukuran kadar reseptor dopamin dalam otak 10 orang pasien obesitas dan 10 orang dengan berat normal. Hasilnya menunjukkan kadar reseptor dopamin yang lebih rendah pada pasien obesitas dibandingkan dengan orang normal. Gene-Jack Wang dari laboratorium yang sama mengemukakan bahwa cara memperbaiki kembali fungsi dopamin dimungkinkan sebagai salah satu strategi dalam pengobatan pasien obesitas.
Crazy dan Dopamin
Ingatkah anda pada kegilaan nobelis DR. John Nash dengan tokoh halusinasinya yang di abadikan dalam film `Beautiful mind`? Pada pasien schizophrenia, kadar dopamin meningkat berlebihan, sehingga menyebabkan otak berhalusinasi. Schizophrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Psikiater asal Scandinavia, Dr. John Carlson, menyebutkan bahwa banyak ilmuwan top dunia dalam sejarah ternyata mengidap Schizophrenia. Riset di laboratorium dengan menggunakan aneka macam tehnik kedokteran nuklir diantaranya pemakaian radioisotop untuk menentukan bagian-bagian pada otak yang berkaitan dengan schizophrenia semakin digalakkan. Riset dipusatkan pada penelusuran mekanisme dan daya kemampuan otak untuk menimbulkan dopamin. Menurut dugaan, abnormalitas pada schizophrenia terjadi dalam bentuk rantai panjang serta komplek yang dimulai dengan perubahan pirosin menjadi dopa, dopa menjadi dopamin, dan dopamin menjadi noradrenalin. Masing-masing mata rantai ini terjalin menggunakan enzim yang spesifik. Ketika adanya gangguan saat proses konversi kritis ini berlangsung, maka memungkinkan terbentuknya ketidakseimbangan kadar dopamine sehingga menimbulkan gangguan perilaku dan mental.
Lain halnya dengan Parkinson, kadar dopamin pada pasien yang menderita penyakit ini menurun berlebihan, sehingga menyebabkan otot motorik kehilangan fungsi normalnya. Gejala yang ditimbulkan akan berupa tremor/dyskinesia (distorsi dalam menjalankan otot volunter). Arvid Carlsson, ilmuwan asal Swedia, adalah orang yang mengarahkan pemahaman mengenai dopamin dan penyakit parkinson. Ia membuktikan bahwa di dalam daerah ganglia basalis otak manusia terdapat kadar yang tinggi dopamin. Sebelumnya, para ilmuwan masih meyakini bahwa dopamin hanyalah suatu prekursor bagi neurotransmitter noradrenalin. Carlsson berhasil mematahkan anggapan ini, karena ia menemukan bahwa dopamin terkonsentrasi di daerah otak yang lain dari tempat noradrenalin, sehingga ia berkesimpulan, dopamin adalah neurotransmitter tersendiri yang terpisah dari noradrenalin. Atas penemuannya ini, ia dianugrahi nobel di bidang kedokteran tahun 2000.
Riset Carlsson mengenai dopamin meningkatkan pemahaman mengenai obat-obat Parkinson dan beberapa obat lain. Ia berhasil menunjukkan obat-obat antipsikotik yang banyak dipakai untuk mengobati pasien skizofrenia, mempengaruhi transmisi sinaptik dengan memblok reseptor-reseptor dopamin. Temuan Carlsson juga memiliki makna penting bagi pengobatan depresi, salah satu penyakit kejiwaan yang paling banyak dialami manusia. Ia berkontribusi bagi pengembangan obat-obat antidepresi generasi baru, yaitu kelompok SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti Prozac (flouxetine) yang sempat terlaris di Amerika (pada awal tahun 1990-an mencapai omzet 1 milyar dollar AS, walaupun kemudian popularitasnya mulai menurun karena diperdebatkan sebagai "kapsul kepribadian", yang membuat pasien yang meminumnya seolah-olah mengalami perubahan kepribadian).
Selain Schizophrenia dan Parkinson, ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak juga diduga mempunyai korelasi dengan penyakit Attention-Deficit/Hyperactivity Disorders (ADHD) dan autisme, dimana keduanya memberikan gejala abnormalitas pada perilaku pasien.
Memoriku Dopaminku
Bagaimana seorang pelukis handal dapat melukis wajah seorang gadis memikat hati yang lama tak ditemuinya atau bagaimana seorang penulis merincikan kembali pemandangan gunung Fuji dengan sentuhan emosi dan cuaca saat itu. Kedua kejadian tersebut berkaitan erat dengan sistem reward dan memori.
Menulis seperti halnya melukis, dimana keduanya menaburkan ingatan-ingatan akan kata maupun bentuk rupa. Ketika anda melukis, anda menggunakan banyak area di otak bagian belakang tempat korteks visual dimana suatu gambar dibentuk. Baik dengan kuas maupun pena, imagi-imagi akan keluar dari lokus-lokus memori.
Suatu memori mengkorelasikan anda tidak hanya kepada bentuk gambar masa lalu, namun juga bentuk emosi masa lalu. Riset-riset untuk mengungkap misteri penyimpanan memori menjadi topik bahasan yang menarik untuk para ilmuwan. Perlombaan mengkorelasikan kimia otak seperti dopamin, noradrenalin, ratusan enzim dan ribuan gen-gen pengkode menjadi tema-tema di laboratorium neuroscience tersebar di berbagai negara.
Pengungkapan tabir mekanisme dopamin bermanfaat untuk strategi penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas dopamin. Disamping berperan penting untuk mengenali wilayah abu-abu misteri proses daya ingat, penyimpanan memori, penentuan sebuah keputusan hingga membentuk suatu kebiasaan perilaku.
Andaikata mekanisme jalur-jalur dopamin dalam otak manusia terungkap transparan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan ada pasien meminta dokter untuk memberikan resep meningkatkan `pleasure feelings` setelah 3-4 tahun usia pernikahan, dimana kadar `love chemistry` saat itu telah menurun. Di lain sisi, bisa jadi masyarakat membutuhkan parameter tambahan berupa pengukuran kadar dopamin sebagai salah satu syarat kandidat presiden. Para pengusaha mempunyai cara yang lebih mudah untuk meningkatkan kinerja para anak buahnya dalam mengambil keputusan, para psikolog harus berfikir lebih keras untuk menjadi lebih cerdas menanggulangi berbagai masalah baru dalam perilaku manusia, dan para sastrawan akan sibuk merekonstruksi kembali definisi dan makna cinta.
Daftar bacaan:
1. Keeping the memories flowing. Nature neuroscience 9, 1199-1200 (2006)
2. Midbrain dopamine neurons encode decisions for future action. Nature Neuroscience 9, 1057-1063 (2006)
3. Choice values. Nature neuroscience 9, 987-988 (2006)
4. Prefrontal cortex and decision making in a mixed-strategy game. Nature neuroscience 7, 404 - 410 (2004)
5. Lust und Liebe (Lust and love): is it more than chemistry? G Frobe and R Frobe, translated by M Gross, Cambridge UK, RSC (2006)
6. Is there a common molecular pathway for addiction? Nature Neuroscience 8, 1445 - 1449 (2005).
7. (Romantic love: An fMRI study of a neural mechanism for mate choice). The journal of Comparative Neurology vol. 493, issue 1. 58-62 (2005)
8. Dopamine in drug abuse and addiction: results from imaging studies and treatment implications. Mol. Psychiatry 9, 557-569 (2004)
9. Love, Actually. Nature 427, 396-397 (29 January 2004)
10. Physiology Nobel: Celebrating the Synapse. Science Magazine vol. 290. no. 5491, p. 424. (20 October 2000)