Catatan Tentang Makna dan Lingkup dari Bidang Estetika dan Ilmu- ilmu Seni Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ini. Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995). Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 - 1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).Dalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda ‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika. Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani, ‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa. Jadi, estetik adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan kesadaran. Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini semakin jarang dipakai. Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna ‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. Dalam hal ini Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh. Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep. Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan. Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik. Secara garis besar apabila ruang lingkup estetika digambarkan dalam bentuk bagan diperoleh gambaran ( lihat Bagan Ruang Lingkup Estetika dan Ilmu-ilmu Seni).
Bagan Ruang Lingkup Estetika dan Ilmu- Ilmu Seni
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.Estetika empiris atau estetika keilmuan digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni dan Metodologi (Penciptaan) Seni. Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. Apabila di daerah asalnya yaitu negara Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika, baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan. Di perguruan tinggi filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak berkembang. Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni. Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru terlaksana pada periode itu.Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu. Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya. Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento Yuliman. Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni. Penelitian-penelitian tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi biografis kesejarahan. Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1 mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.
Seni rupa, sebagai sebuah entitas kesenian yang lentur dan terbuka, memiliki sifat dasarnya yang makin hari makin tak terbendung menerima pluralitas nilai-nilai. Hal tersebut semakin menarik untuk dicermati, apalagi ditunggangi oleh berbagai kepentingan arus utama posmodernisme yang mengacu atas nama bagaimana seni rupa dibaca ulang tak hanya sebagai keperluan estetika an sich semata. Ini juga berlaku dengan makin ditinggalkannya paradigma kuno art for art shake (seni dicipta sebagai hanya untuk kelangsungan hidupnya sendiri). Kita bisa menjadi saksi, misalkan sejak tampilnya karya Duchamp yang menghebohkan dunia di Amerika dengan mengusung kloset ke ruang pameran untuk menyindir produk budaya masa, atau almarhum Semsar Siahaan dengan G-8 Pizza-nya mengolok-olok dominasi kelompok negara-negara utara yang mengeksploitasi dunia berbentuk karya rupa limas segi delapan dari kardus di Galeri Nasional Indonesia tahun lalu. Belum lagi, dalam kaitannya dengan realitas material, seni rupa memiliki sifat ambigunya sebagai sebuah produk industri ”life style” dan mereproduksi makna-makna yang kadang kerap”membingungkan”, namun toh tetap bisa dikomersialkan. Alih-alih, menyerap fenomena cara berpikir kesenian Barat, malah menimbulkan terdepaknya seni tradisi atau semakin tak tersentuhnya seni lokal yang berakar pada spiritualitas, yang notabene adalah elemen penting tempat bersandarnya jiwa manusia selain kebutuhan keindahan fisik. Dengan sifat pluralitasnya itu pula, seni rupa terancam akan bagaimanakah sifatnya di masa depan yang serba tak terkontrol dan dianggap sebagai produk yang dianggap ”sah-sah saja” ditampilkan di publik dalam konsep, misi, format dan bentuk ekspresi apa pun. Tak ada penentu nilai yang paling sahih dan dijadikan pegangan pasti untuk mengenalnya sebagai sebuah karya dari budi dan daya insan seni manusia Indonesia. Perlu adanya sebuah paradigma khusus yang akan memandu membedakannya. Maka, di sini dibutuhkan kajian ilmu pengetahuan yang serius namun kontekstual sebagai jembatan pengertian atas proses berkesenian yang tak terjerumus pada ”pencanggihan” wacana ataupun konsep-konsep yang diusung oleh para penggiat seni yang cenderung memiliki arah ”penyesatan” kepada publik. Untuk menampilkan parasnya yang utuh dan tak sekedar dipergelarkan, kita mau tidak mau akan menengok pada bagaimana sejatinya tugas yang diemban oleh kritik seni rupa kita? Terutama dalam relasinya dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, hal ini sudah tak bisa lagi ditinggalkan sifat urgensinya. Mengingat sebagai suatu kebutuhan hidup, seni rupa telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, dan menjadi suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan lainnya. Dunia seni rupa Indonesia sudah selayaknya mempunyai nilai-nilai khusus tersendiri untuk menjawab ini. Mengutip ahli sejarah, Yudoseputro, bahwa dunia seni secara hakiki pada dasarnya memang memperlihatkan kandungan persepsi yang luas yang mencerminkan identitas profilnya yang tidak tunggal sehingga setiap jawaban dari permasalahannya memunculkan berbagai substansi yang kait-mengkait. Maka menjadi lazim, jika tuntutan perhatian terhadap kritik seni rupa dewasa ini tampaknya semakin meluas, dan tidak hanya dimonopoli lagi oleh lembaga-lembaga yang secara konvensional menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang seni rupa saja. Perhatian terhadap kritik seni rupa sebagai suatu masalah ilmu pengetahuan mandiri yang terelasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan sejarah semakin berkembang. Maraknya tulisan-tulisan kritik jurnalistik di media massa, internet, buletin seni rupa dan jurnal khusus yang membahas fenomena-fenomena yang terjadi di dunia seni rupa Indonesia dengan sumber rujukan kajian-kajian teranyar semisal culture studies adalah sebagai bukti. Kerangka kritik yang diaplikasikan dari sumber berbagai disiplin keilmuan itu, tentu saja, secara paradigmatik dijaga dengan gugusan teori, konsep, dan metode yang secara spesial melekat pada konvensi ilmu yang bersangkutan sebagai acuannya, yakni pendekatan kritik yang bersifat monodisipliner; yang karena itu sangat monolitik sifatnya. Dengan demikian, upaya untuk memulai memberikan perhatian pada kritik seni rupa dengan membuka pintu terhadap ilmu seni (science of art) dari berbagai disipliner ilmu akan memberi sumbangsih rumusan paradigma baru yang lentur, luwes, berasas lintas sektoral, dan multidisiplin. Seni rupa sebagai sebuah gejala seni yang kompleks dan plural, memerlukan juga kritik seni rupa dengan kajian perbandingan yang setara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada prinsipnya kajian tersebut memerlukan main theory mendasar, dan ini berimbas dari hasil studi berbagai disiplin ilmu yang didudukkan secara bersama. Atau boleh disebut sebagai reaksi atas asas keterpaduan antar-ilmu yang telah bermetamorfosis ini, berupa Metateori mandiri yang sekaligus teruji untuk menjadi wawasan mantap yang dapat memberi tempat utama sebagai alat penguji. Metateori inilah yang akan menjadi kerangka acuan yang disebut paradigma kritik seni rupa, yakni sebuah perangkat karakteristik keyakinan dan prakonsepsi, yang kemudian mencakup komitmen bersama (mind set/cara berpikir bersama) dalam mengimplementasikannya secara instrumental, teoretik, bahkan dalam jangkauan metafisik sekalipun. Dengan pertimbangan di atas, perlu dirasakan urgensinya menyusun suatu prosedur penelitian dan pengujian terhadap metodologi yang digunakan dalam penelitian kritik seni rupa yang berkembang ke arah yang semakin kompleks. Fenomena tersebut, tampaknya secara serta-merta sejalan dengan perkembangan dalam disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya dalam ilmu pengetahuan sosial yang menawarkan sejumlah paradigma alternatif dalam penelitian, dari pijakan filsafat ilmu pengetahuannya yang bergeser dari posisi positifisme (analisis ilmu pengetahuan alam) menuju keposisi yang kompleks (dimasukkannya disiplin ilmu-ilmu humaniora atau bahkan metafisika dalam membedah ilmu pengetahuan sosial).Pada akhirnya nanti, kritik seni rupalah dengan pengayaan dari berbagai inter disipliner ilmu dengan seluruh hasilnya—proyek penelitian, penerbitan jurnal, tulisan katalog pameran, seminar dan pendidikan khusus, penerbitan buku sejarah atau filsafat seni Indonesia, buku pedoman yang menjadi pegangan pelaksana kebijakan publik seni rupa oleh pemerintah dll—yang akan memberi gambaran secara gamblang dan tidak bersifat eksklusif terhadap identitas dan karakteristik yang bagaimanakah anatomi dunia seni rupa kita sekarang ini, selain bisa menjelaskan seberapa jauhkah pluralitas yang disandangnya. Out put dari ”perkawinan-kesetaraan inter disipliner” metode di atas, sepenuhnya tugas penting dan tanggung jawab bersama di antara elemen-elemen yang membentuk art world kita, terutama kalangan ilmuwan seni. Di antaranya boleh disebut sejarawan seni, kritikus, kurator, mahasiswa yang memiliki minat pada penelitian kritik seni rupa ataupun para pekerja seni secara umum dan tentu saja peran pemerintah untuk memfasilitasi.Kritik seni rupa menjadi sebuah ”mantra utama” yang terukur dan menjadi pegangan identitas seni rupa kita. Lebih dari sekadar digunakan sebagai media ”komentator” berbagai pameran lukisan parsial berupa tulisan di katalog atau ”akrobat wacana” untuk karya kontemporer misalnya di berbagai ruang-ruang seni publik. Namun, secara langsung menjadi sumber utama cara memandang atau berpikir dalam memahami dinamika pluralitas seni rupa dewasa ini. Semua ini, tentu membutuhkan energi yang luar biasa dari kita bersama untuk tanpa henti memperjuangkan keberadaannya.