as far as the eye could see would look fine or regular shape and we can enjoy, areal form close to us and stick with our days,which form an impression,message,pleasure,sorrow,struggle, optimism,arrogance,isme2,absurdivitas and love that melt into a visual language through the senses of the eys and hearts toward the eye that can see the honesty of a simple but not transparent.

rumakebun studio


awas pembodohan public!!


indonesian women from dayak


mari berwacana

samsar siahaan, Pemberontak yang Kesepian

[suhunan situmorang; batak news; pelukis pembela kaum buruh]
Dia seniman yang “tak ingin” kaya, anak seorang jenderal TNI-AD, tapi justru anti-militerisme. Kakinya dipatahkan aparat militer ketika ikut demo membela Tempo yang ditutup rezim Soeharto. Kompas menulis “kesintingannya” tinggal di rumah kontrakan yang mirip rumah hantu. Saat kuliah di ITB, dia nekat membakar patung karya dosennya sendiri.
Artikel ini ditulis oleh Suhunan Situmorang, seorang advokat di kantor Nugroho Partnership Jakarta, pengarang novel, dan juga penikmat karya seni. Tulisan ini dikirimkan ke imelku bataknews [at] gmail [dot] com.
TANGANNYA BEGITU CEPAT menyendok makanan ke mulutnya. Tak terkesan lahap atau karena remasan lapar. Mungkin begitulah caranya makan, atau karena merasa sudah terlambat mengikuti hajatan sastrawan Sitor Situmorang yang berulangtahun ke-80 di sebuah ruang pameran TIM itu. Malam itu, 2 Oktober 2004, sambil makan, kami membincangkan banyak hal, terutama tema yang diusungnya dalam pameran karya-karya terbarunya di Galeri Nasional.
Ia belum berobah, tetap berselubung misteri. Sejak Juni 1994, kali pertama mengenal dalam sebuah diskusi gelap, kesanku pada lelaki separuh baya ini masih sama: dingin, angker, garang, pemarah, teguh bak batu karang, penuh misteri, walau hatinya tulus menjalani relasi sosial dan humanis. Bedanya, malam itu, kulihat wajahnya kusut-masai, rambutnya semakin memutih, dan… agak aneh: bola matanya kuning. Yang kutahu, mata seperti itu lazim terjadi pada pengidap penyakit kuning atau hepatitis. Namun, demi etika pergaulan, tak kutanyakan.
Bicaranya tetap lugas, dan lantak. Ia memintaku agar tak ikut merokok di ruangan berpendingin udara seadanya itu, seraya mengecam beberapa pengunjung yang tak mengacuhkan larangan merokok. “Itu merugikan kesehatan orang lain,” ujarnya tegas.
Selain menyinggung pameran karyanya yang meledek dan mengecam G-8 di Galeri Nasional, pertanyaan yang kusudorkan tak jauh dari alasan kepulangannya setelah berdiam di Kanada, 1999-2004. Pengakuannya, tak betah dan sebetulnya sudah lama muak mukim di negeri yang dingin itu, terutama disebabkan sikap rasis orang-orang kulit putih Kanada yang kelewatan pada imigran dari Asia dan Afrika. Saya kaget, tak menyangka separah itu—jika pengakuannya benar. Sebelumnya kubayangkan, ia hidup nyaman dan menemukan tempat yang tepat untuk membebaskan dirinya bereksperimen dengan status tamu terhormat The University of Victoria.
Ia memilih kembali ke negerinya, seperti apapun kondisinya; tanah air yang kelewat dicintainya namun sekian tahun dikejar-kejar intelijen dan tentara penguasa karena sikap kritis dan perlawanannya.
Semsar Siahaan, mungkin tak begitu akrab di telinga anda, seperti halnya orang Indonesia kebanyakan—apalagi di kalangan etnis Batak. Ia terkenal dan dikenal orang-orang dan kalangan tertentu saja, termasuk orang luar negeri pemerhati senirupa. Sebagai seniman, ia dipuji, dikagumi, sekaligus dibenci karena sikap keras, kritis, radikal, dan gairah berontaknya yang seakan tiada akhir. Terbilang naiflah bila mengaku penggiat atau pengamat senirupa (terutama lukis) di Indonesia bila tak tahu Semsar Siahaan berikut ulahnya.
Lelaki kelahiran Medan 11 Juni 1952 itu pernah menggemparkan kampusnya, Departemen Seni Rupa ITB, karena nekat membakar karya dosennya, Soenaryo, patung Citra Irian. Juga menggegerkan “warga” TIM karena pernah memanjat kubah planetarium malam menjelang pagi untuk memasang spanduk “manifesto politik berkeseniannya”, dan tanpa izin penguasa TIM, melukis mural anti-Soeharto dan anti-militerisme di tembok luar Teater Arena, yang kemudian dihancurkan (entah oleh siapa) berikut bangunan teater.
Sejak kuliah di Departemen Senirupa ITB, ia sudah memperlihatkan sikap kerasnya melawan rezim yang dibangun Soeharto, sekaligus menentang militerisme tanpa pernah merasa takut. Ironisnya, ayahnya sendiri seorang militer (AD) dengan pangkat perwira tinggi.
Ia aktif berdemo menentang Perang Teluk, 1991. Ketika pemerintahan Soeharto membreidel majalah Tempo, Editor, tabloid Detik, Juni 1994, ia termasuk yang garang berdemonstrasi di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat-Thamrin. Saya sendiri, saat itu, terbilang “pengecut” karena tak berani bergabung dengan pengunjuk rasa dan cukup menyaksikan dari halaman gedung Sarinah. Sepanjang usiaku, baru dua kali memang ikut berunjukrasa. Pertama, ketika mengecam pelaku ‘Bom Bali’ kedua di Bundaran HI bersama pemuda-pemudi Hindu Jakarta atas ajakan Ismed Hasan Putro, ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM). Kedua, saat ‘Aliansi Mawar Putih’ menentang RUU Anti Pornografi atas ajakan Ayu Utami, itupun lebih banyak menikmati wajah-wajah cantik kaum perempuan peserta demonstrasi yang wara-wiri di dekat tugu Selamat Datang HI, lalu ngobrol sembari merokok dengan Presiden SBY Republik Mimpi, Butet K.
Harga yang harus “dibayar” Semsar untuk perlawanan atas pembreidelan majalah Tempo itu cukup mahal: aparat militer mematahkan salah satu kakinya, dan sejak itulah ia agak pincang bila melangkah.
Lewat karya dan suaranya, Semsar adalah oposan abadi bagi rezim Orde Baru. Bahkan, sesudah Soeharto lengser pun, ia tetap diuber orang-orang misterius—membuat ia harus melarikan diri ke Kanada berkat bantuan teman dan pengagum karyanya di luar negeri, melalui jalur Singapura.
Sebagai orang awam di dunia senirupa, saya tak punya kapasitas membicarakan karya-karyanya, yang menurut penilaianku yang cuma penikmat, jauh dari kesan indah. Tetapi siapapun, bila tak subjektif dan apriori pada Semsar, akan mengakui lukisan, sketsa, instalasi, karya lelaki penyendiri yang hampir semua karyanya bertemakan kemarahan, pemberontakan, perlawanan, ledekan, ironi dan tragedi, itu adalah karya-karya yang tak hanya kuat memberi gambaran atas tema yang dilukis atau diguratnya termasuk aksentuasi warna pilihannya, juga, yang tak kalah penting: jujur mengungkapkan negative capability, isi hati dan pikirannya.
Semsar memang bukan pelukis “biasa”. Ia juga kritikus sosial yang tak bisa mendiamkan karut-marutnya realitas sosial yang dilihat matanya dalam keseharian. Ia marah melihat totalitariannya pemerintah Orde Baru yang seenak perut menginak-injak HAM, geram menyaksikan kemiskinan penduduk yang semakin mengerikan akibat ketidakbecusan penguasa mengelola aset dan keuangan negara sementara di sisi lain praktik-praktik KKN semakin memakmurkan keluarga pejabat dan pengusaha kroninya. Berang atas perlakuan-perlakuan diskriminatif penegak hukum, penindasan terhadap buruh, dan mengecam kecenderungan masyarakat yang kian egois, materialistis, konsumtif, dan snobis. Sikap galak dan kritisnya itu membuat dirinya memainkan posisi ganda di dunia senirupa Indonesia: seniman sekaligus kritisi sosial.
Ia setuju seniman tak harus hidup merana dan berhak meraih taraf hidup yang layak melalui karya-karyanya. Namun, dikecamnya seniman-seniman yang semata-mata berkarya karena pesanan galeri atau kurator yang ia sebut toko dan makelar lukisan; yang meredam luap emosi jiwa dan kecamuk pikiran demi memenuhi selera pasar dan pesanan kurator/galeri. Disindirnya para pelukis berharga super-mahal, salah seorang di antaranya sahabatku, perempuan Yogja bernama Erica, pelukis bergaya “kekanak-kanakan” yang harga lukisannya berkisar puluhan juta hingga ratus juta.
Semsar menilai pelukis-pelukis yang diperebutkan pemilik galeri-galeri seni di wilayah Kemang itu sebagai korban budaya ketamakan dan kerakusan yang disemburkan sistem kapitalisme dengan cara mematikan nurani; yang berkarya tanpa jiwa, tanpa ruang kebebasan mengaktualkan diri.
“Apakah kapitalisme selalu salah?” tanyaku ketika itu sekaligus menyikapi tema pamerannya di Galeri Nasional yang mengkritik para pemimpin dan industriawan negara-negara G-8, “Dan, adakah sistem yang lebih baik di luar kapitalisme?”
Semsar tak langsung menjawab. Mungkin pertanyaan semacam itu terlalu sering ia terima dan sudah pula berulang-ulang memberi sikap—sehingga menimbulkan kejenuhan. Sebagai seniman, bukan akademisi ideologi atau teoritisi ilmu ekonomi, ia lebih suka bila kritik dan pandangannya dibaca lewat karya-karya lukis, sketsa dan instalasinya yang sudah tegas bercerita; tak lagi menelurkan interpretasi dan penjelasan-penjelasan verbal. Dari simbolisme potongan-potongan pizza berukuran besar yang ia tampilkan dalam salah satu karya instalasinya di pameran terakhirnya itu, tak sulit memang mengaitkannya dengan hegemoni negara-negara berekonomi kuat yang tergabung dalam G-8 terhadap negara-negara berekonomi lemah dan terbelakang.
Dalam bahasa gamblang, ia mau mengingatkan siapa saja: penjajahan negara-negara berekonomi adidaya semakin mengakar, mencengkeram, ganas, yang sepatutnya dicemaskan dan diwaspadai—tak hanya menikmati budaya-budaya konsumtif dan materialistis yang tanpa disadari telah merasuki diri, membuat kecanduan dan ketergantungan pada apapun produk mereka, dan tak begitu saja dipukau pesona globalisasi, yang menelan mentah-mentah kultur dan “nilai-nilai baru” yang disuguhkan.
Semsar memang tak pernah lelah dan bosan memperjuangkan keadilan dalam berbagai spektrum dan kasus, selain terus mengingatkan agar harga diri tak diabaikan. Sikap keras dan nonkompromistisnya itu acap dikaitkan dengan darah dan turunan “genetikanya”, manusia Batak yang hidup dan dididik dengan kultur militer. Entahlah apakah ada kaitannya, Semsar sendiri tak murni berdarah Batak, sebab perempuan yang melahirkannya berdarah India. Lagipula, ia tak seperti turunan serdadu pada umumnya yang doyan membawa-bawa pistol ayah dan bangga atas pangkat dan kuasa orangtua.
Yang membuat saya heran dan sampai kini tetap bertanya-tanya, mengapa ia memilih jalan yang sepi itu—seniman pemberontak, galak, anti kemapanan, penyendiri, menjauhkan diri dari hampir semua atribut kenikmatan jasmaniah—sementara latarbelakangnya, sebetulnya, berasal dari kelas menengah, kalau tak orang kaya. Bayangkan, masa kecil dan remajanya—karena tugas ayahnya—terlewatkan di Beograd, Yugoslavia, Perancis, San Fransisco; tempat-tempat di mana ia mulai belajar seni lukis dan sketsa. Maka ketika mulai kuliah di ITB (1977), sebetulnya ia sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih dari cukup sebagai seniman.
Semsar tak tamat dari kuliah senirupanya di ITB, mungkin karena sudah terlanjur dianggap “monster” yang menakutkan almamaternya, selain ketakbutuhannya pada selembar kertas diploma. Tetapi lewat gebrakannya pada sebuah bianneale TIM-IKJ tahun 80-an, ia semakin tegas menampakkan dirinya: bukan sekadar seniman pemberontak yang ekstrim menyalurkan sikap—terutama ketika pameran seni instalasinya itu ia gali halaman belakang TIM laksana liang kubur untuk manusia raksasa yang merindingkan bulu-bulu tubuh, dan…, seusainya, membakar karya-karyanya, membuat penikmat dan pengamat senirupa terperanjat dan sulit percaya.
Baginya, hakekat sebuah karya adalah ketika akhirnya dimusnahkan dengan cara dibakar supaya jadi abu. Kelihatannya, pengaruh Hindu dan India sangat kental dalam dirinya, termasuk kesukaannya pada musik India, termasuk album-album Beatles dan beberapa personilnya yang melahirkan karya musik dengan mengadopsi unsur musik dan instrumen India.
Ketika karya-karyanya ia musnahkan, saya termasuk yang kesusahan memahami jalan pikirannya, dan karenanya hanya bisa bergurau pada seorang kawan dekat, Iskandar Siahaan, yang sempat dekat dengan Semsar (mungkin karena faktor semarga), bahwa “Siahaan memang banyak yang rittik (sinting).” Edan!
Harian Kompas sendiri pernah mengulas kenyentrikan Siahaan yang satu ini secara panjang-lebar. Diceritakan, betapa seorang ibu pemilik rumah sederhana yang disewa Semsar di wilayah Cinere, senantiasa heran dan bertanya-tanya menyangkut lelaki misterius penyewa rumahnya. Rumput liar yang tumbuh di halaman rumah dibiarkan mengilalang hingga hampir menutupi bangunan rumah, pintu dan jendela jarang dibuka, dan penghuninya amat jarang melongok matahari.
Kelangsungan rumahtangganya (ia menikah dengan perempuan non-Batak, beda keyakinan tetapi disebut-sebut Semsar sudah mengkonversi keyakinannya) yang kandas di tengah jalan dan kehidupan (atau sikap?) keberagamaannya yang “aneh” dan cenderung agnostic, seolah melengkapi kemisteriusannya. Tetapi, dengan seluruh keanehan dan “kegilaannya” yang tak terkesan dibuat-buat atau dipaksakan itu, membuat dirinya menjadi ikon atau simbol perlawanan dan pemberontakan yang dikagumi kaum muda anti-kemapanan; menggoda penggiat dan pengamat senirupa dan pemerhati isu HAM dari manca negara (terutama Eropa, Amerika, Kanada, Australia), terus menguntit aktivitas dan karyanya.
Mungkin, Semsar-lah seniman pluralistik (istilah kritisi senirupa) Indonesia yang paling banyak diulas media-media senirupa Eropa, Amerika, Kanada, Australia, Jepang. Barangkali pula, selain Pram, Sitor, Goenawan Mohamad, dialah “orang-orang aneh” milik bangsa ini yang karya dan figurnya tak habis-habis dikaji pengamat seni-budaya-sastra lokal maupun luar.
Saya tak akan memaparkan apa-apa saja karya Semsar di tulisan sederhana ini. Bila anda tertarik menelusuri lebih jauh “ke-diri-an” dan karya-karyanya, mudah dicari dengan mengklik Google atau Yahoo. Salah satunya, Semsar’s Gallery, asal foto-foto wajah dan lukisan Semsar “dipinjam” untuk tulisan ini.
Saya merasa beruntung sempat mengenal dan beberapakali berbincang dengan lelaki misterius ini—walau tak hangat, tetap berjarak, dan, sebagaimana penilaian kawan-kawan lain, takkan bisa dirangkul oleh siapapun, termasuk katanya keluarga dekatnya sendiri, apalagi menjadikannya semacam alter-ego. Ia mengaku tak punya HP dan hanya mau dihubungi lewat email.
Demikian pun, ketika beberapa bulan setelah perbincangan di hajatan Sitor itu kuterima kabar duka melalui SMS seorang kawan di Bali, “Semsar Shn mninggl dnia di Bali krn srngan jntng, jnzhnya akn dibw ke Jkt”, selain terkejut, perasaanku amat sedih—seraya membayangkan bola matanya yang menguning itu. SMS tersebut lalu kuteruskan pada Grace Siregar di Tobelo-Halmahera Utara, Agus Budyanto (pelukis cat air yang sedang naik daun), Tumpley Siahaan dan teman-teman seniman hotel Hilton, dan yang lain-lain.
Sesaat saya terdiam, lalu menggumam: “Sekali, tetapi berarti…”
Ia meninggal dunia di RSUD Tabanan, 23 Februari 2005, jam 1 Wita, tatkala melihat-lihat tukang bangunan mengerjakan studio sekaligus huniannya. Dusun Kesambi, Jatiluwih, Panebei-Tabanan, ia putuskan huniannya terakhir sekalian tempat berkarya—tanah nan bidang, yang pengakuannya pada saya, pemberian kawan dekatnya.
Jenazahnya sempat disemayamkan di Galeri Cipta TIM sebelum dikuburkan esoknya di pekuburan Menteng Pulo. Saya tak ikut mengantarnya, tetapi manakala melewati Jalan Casablanca yang membelah komplek makam yang kian dikepung bangunan apartemen itu, sesekali terbayang: seorang seniman besar negeri ini, pemberontak untuk keadilan dan kemanusiaan yang kesepian, rebah di situ

Copyright © 2008 - RupaRupaYgBerupa - is proudly powered by Blogger
Blogger Template